MODEL DISCOVERY-INQUIRY
DALAM PEMBELAJARAN IPA
Arya, S. 2016. Model discovery-inquiry dalam pembelajaran IPA. Makalah. Pembelajaran Inovatif.
Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha.
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sekolah sebagai sebuah
lembaga pendidikan merupakan alat pencetak sumber daya manusia yang unggul,
untuk itu di sekolah disajikan berbagai jenis materi yang dapat mengembangkan
daya kognitif siswa untuk mencari jati diri yang sebenarnya. Pengembangan
pendidikan di sekolah dilakukan oleh guru dengan manajemen sekolah yang
mengarahkan peserta didik dalam pembentukan karakter yang sesuai dengan tujuan
pendidikan Nasional. Dalam rangka pembaruan sistem pendidikan nasional telah
ditetapkan visi, misi dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Visi
pendidikan nasional adalah terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial
yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga Negara Indonesia
berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan produktif
menjawab tantangan zaman yang selalu berubah (Rusman, 2016:2).
Terkait dengan visi
tersebut telah ditetapkan serangkaian prinsip penyelenggaraan pendidikan untuk
dijadikan landasan dalam pelaksanaan reformasi pendidikan. Salah satu prinsip
tersebut adalah pendidikan diselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan
pemberdayaan peserta didik berlangsung sepanjang hayat. Dalam proses tersebut
diperlukan guru yang memberikan keteladanan, membangun kemauan, serta mengembangkan
potensi dan kretivitas peserta didik. Implikasi dari prinsip ini adalah
pergeseran paradigma proses pendidikan, yaitu dari paradigm pengajaran ke
paradigm pembelajaran. Pembelajaran berarti upaya membelajarkan siswa (Degeng,
1989), yaitu proses interaksi peserta
didik dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
Sesuai dengan amanat
Peraturan pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang standar nasional Pendidikan,
salah satu standar yang harus dikembangkan adalah standar proses. Standar
proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan
pembelajaran pada satuan pendidikan untuk mencapai kompetensi lulusan. Standar
proses berisi kriteria minimal proses pembelajaran pada satuan pendidikan dasar
dan menengah di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Standar proses ini berlaku untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah pada
jalur formal, baik pada sistem paket maupun pada sistem kredit semester.
Standar proses meliputi perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses
pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran
untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien.
Belajar merupakan
proses perkembangan kearah yang lebih sempurna. Perkembangan tersebut analog
dengan perkembangan tumbuhan. Batang tumbuhan akan tumbuh secara sempurna jika
tidak ada tumbuhan lain yang menghalangi pertumbuhannya, namun jika ada
tumbuhan lain yang menghalangi pertumbuhan tumbuhan tersebut, maka pertumbuhan
batang menjadi tidak sempurna. Tumbuhan yang tumbuh akan menuju kearah sumber
cahaya, dan tumbuhan akan mengarahkan batangnya untuk menuju sumber cahaya
yaitu matahari (Santyasa, 2017). Begitu juga dengan proses pendidikan seorang
anak, sebaiknya berkembang sesuai dengan proses dan usianya, namun sebagian
besar orang tua menginginkan kognitif anaknya untuk segera tumbuh tanpa
memperhatikan usianya, keinginan yang seperti itu menjadi faktor penghalang
bagi anak untuk mencapai pertumbuhan kognitif yang optimal dan alamiah.
Setiap individu akan
berbeda dalam cara mereka belajar (proses) dan berbeda pula mengenai apa yang
dipelajari (hasil). (Santyasa, 2017). Pandangan terhadap sebuah proses
pembelajaran anak menjadi perhatian para pakar pendidikan. Dalam perspektif
empiris menekankan bagaimana proses pembelajaran yang menekankan pada
pengalaman yang dialami oleh pebelajar, sedangkan dari perspektif rasionalis
menekankan proses pembelajaran ditekankan pada proses berfikir seorang
pebelajar. Kedua perspektif tersebut merujuk kepada bagaimana seorang pebelajar
dapat melakukan konstruksi pada dirinya sendiri sehingga maksud dari
pengetahuan yang diajarkan dapat diterima.
Paradigma pendidikan
zaman sekarang banyak sekali kita melihat sekolah-sekolah dengan mutu
pendidikan yang sangat rendah. Penilaian tersebut terlihat dari pencapaian
prestasi belajar yang diraih oleh siswa pada suatu sekolah. Siswa yang dapat
meraih nilai yang baik dalam ujian nasional secara tidak langsung akan
mengangkat nama baik sekolah tempat mereka belajar. Sekolah dengan hasil UN
terbaik akan menjadi favorit di masyarakat, dan masyarakat berbondong-bondong
untuk menyekolahkan anak mereka pada sekolah tersebut. disisi lain ada juga
sekolah yang belum mencapai pencapaian yang maksimal pada nilai UN siswa, hal
tersebut karena kurang maksimalnya sistem pendidikan yang diterapkan pada
sekolah tersebut. Menurut Kadim Masykur di Simarmata (2008), konsep kesalahan
dalam bidang Ilmu telah terjadi di mana-mana dan terjadi pada tingkat
pendidikan yang rendah untuk pendidikan tinggi. Rendahnya pemahaman siswa dalam
memahami suatu pelajaran ditunjukkan oleh prestasi belajar siswa yang tidak
sesuai dengan harapan.
Penggunaan metode
ceramah dengan instrument pembelajaran berupa buku dan LKS dirasa kurang
memberi pemahaman bagi siswa, siswa mengalami kesulitan dalam memahami materi
yang diajarkan oleh guru. Dengan metode ceramah informasi cenderung hanya
dihafal tanpa adanya proses berfikir (Rumithi, 2016). Siswa harus mengikuti cara belajar yang
dipilih oleh guru dan patuh mempelajari urutan yang ditugaskan oleh guru. Siswa
kurang untuk mendapatkan kesempatan untuk terlibat secara aktif. Pembelajaran
umumnya hanya berorientasi demikian, hasil pembelajaran terjadi hanya transfer informasi
dari guru kepada siswa. Belajar yang hanya menghafal konsep, teori atau
formula, sehingga tidak memberikan pemahaman yang mendalam tentang
konsep-konsep yang dipelajari. (Basman, Arifin,
& Muris, 2016).
Pembelajaran
dengan motode tradisional juga dipandang belum maksimal, seperti dalam
penelitian yang dilakukan oleh Ogenevwade (2010), bahwa siswa belum mampu
mengimplementasikan pengetahuannya terhadap lingkungan, sehingga menjadi kekhawatiran
bagi pemerintah sumber daya alam menjadi rusak akibat generasi muda. Saat
memasuki abad ke-21 dan mengharapkan kesehatan yang lebih baik untuk seluruh
masyarakat, ketersediaan sumber makanan yang sehat, pengetahuan manusia yang
mumpuni, hewan dan tanaman yang lebih baik dan lingkungan yang bersih dari zat
oksida dan zat radioaktif sulfur, sehingga ada kebutuhan untuk secara efektif merubah
paradigm pembelajaran agar nantinya siswa dapat menjaga lingkungan dengan baik.
(Ogenevwade, 2010)
Upaya reformasi
kurikuler saat ini di seluruh dunia telah kembali berfokus pada perlunya
mengajar siswa untuk membuat keputusan yang tepat dan seimbang tentang
bagaimana IPA mempengaruhi kehidupan mereka dan menggunakan pengetahuan ilmiah
untuk memecahkan masalah. (Gormally, 2009) Kurangnya pengembangan kurikuler di
sekolah juga menjadi titik tumpu dari terpuruknya pembelajaran di setiap
sekolah, siswa lebih cenderung belajar dalam ruangan kelas tanpa melakukan
praktikum di lapangan atau laboraturium. Dengan metode pembelajaran semacam ini
kemampuan siswa dalam mengembangkan materi tidak maksimal. Guru sebagai
pembimbing dan mengembangkan kemampuan berfikir siswa hendaknya dapat
merangsang kognitif siswa agar berkembang dengan melakukan pembelajaran yang berorientasi
pada praktikum. (Gormally, 2009)
Pembelajaran
siswa diluar kelas berbasis praktikum dipandang lebih efektif untuk memahami IPA
secara benar, seperti yang dikemukakan oleh Balim (2009) dalam penelitiannya, mengajar
siswa dengan gagasan untuk menemukan, berpikir kritis, mempertanyakan, dan
keterampilan memecahkan masalah adalah salah satu prinsip utama pengajaran IPA
dan teknologi. Dengan demikian, kurikulum pengajaran IPA dan teknologi
seharusnya dikembangkan untuk mendidik siswa melek-IPA yang dapat menanyakan
dan memecahkan masalah yang mereka hadapi. Pengajaran yang menggunakan
pendekatan lingkungan akan lebih menguntungkan terhadap siswa dan pemerintah,
pada satu sisi siswa lebih dapat mengembangkan pengetahuannya dibidang IPA, dan
pada sisi yang lain pemerintah merasa dibantu, karena siswa akan lebih terlatih
untuk menjaga lingkungannya sendiri.
Dengan
permasalahan tersebut, maka pembelajaran di sekolah harus mengalami perubahan
dari paradigm tradisional menjadi paradigma modern. Dalam pembelajaran IPA pada
tingkat sekolah dasar dan SMP lebih cocok jika dikembangkan dengan model
pembelajaran discovery dan inquiry. Discovery adalah metode yang memberi kesempatan pada peserta didik
untuk menemukan fakta, konsep, dan prinsip ilmiah untuk diri mereka sendiri
daripada diberi tahu. Ini memberi peserta didik kesempatan untuk menemukan dan
belajar IPA dari partisipasi mereka sendiri. (Ogenevwade, 2010) Dengan pembelajaran discovery siswa dituntut untuk lebih
kretif untuk mengembangkan dan menemukan inti dari sebuah materi.
Menurut Munandar (2012), pengertian kreativitas terbagi
dalam tiga kelompok yaitu: (a) kreativitas sebagai gaya hidup, siswa akan
dihadapkan pada rangsangan yang membuatnya bergerak melakukan sesuatu, sehingga
ketika ia bergerak, ia akan mengembangkan suasana kreatif dalam dirinya, (b)
kreativitas sebagai karya tersendiri, pembelajaran discovery menuntut adanya hasil karya melalui pengkajian konsep
atau teori pembelajaran, (c) kreativitas sebagai proses intelektual, kemampuan
untuk menghasilkan kreativitas memiliki dampak yang sangat besar bagi kemampuan
berfikir siswa. Kemampuan berfikir kreatif dan inovatif, secara tidak langsung
telah menggunakan proses intelektual mereka untuk pertimbangan yang sangat
matang. Model discovery learning
menyediakan pengalaman langsung sesuai dengan strategi pembelajaran yang
ditawarkan. Model ini melibatkan langsung mental dan fisik untuk memperoleh
hasil dari sesuatu kesimpulan permasalahan yang sedang diperbincangkan.
Selain dengan metode discovery,
model pembelajaran inquiry juga
memberikan pengaruh besar terhadap keberhasilan pembelajaran IPA. Pendekatan Inquiry
adalah strategi pengajaran yang mencoba untuk membantu peserta didik mengajukan
pertanyaan dan menemukan jawaban atas pertanyaan mereka. Metode inquiry memungkinkan untuk mengamati
suatu kejadian, mengenali pertanyaan yang relevan dan tidak relevan, mencari
data dan bertanggung jawab sepenuhnya untuk keseluruhan proses yang diperoleh,
mengatur dan menafsirkan data. (Ogenevwade, 2010)
Joyce (2009) dalam Dahlia dan Sondang (2016) menyatakan bahwa model
pembelajaran inquiry dirancang untuk
membawa siswa secara langsung kedalam proses ilmiah melalui latihan-latihan
yang dapat memadatkan proses ilmiah tersebut kedalam periode waktu yang
singkat, dengan tujuan membantu siswa untuk mengembangkan disiplin dan
mengembangkan keterampilan intelektual yang diperlukan untuk mengajukan
pertanyaan dan menemukan jawaban berdasarkan rasa ingin tahu.
Dalam proses pembelajaran IPA penggunaan model pembelajaran discovery dapat digabungkan dengan model
pembelajaran inquiry menjadi model
pembelajaran discovery-inquiry. Tuntutan melakukan perubahan
model pembelajaran terhadap pembelajaran IPA sangat diperlukan, karena materi IPA
tidak dapat begitu saja di pahami hanya dengan mendengarkan tanpa melakukan
praktek. Selain itu tuntutan zaman akan pemahaman materi IPA juga sangat diperlukan,
hal ini sejalan dengan pendapat Youl (dalam Kumara,
2004) bahwa persaingan sains dimasa
depan sebenarnya tidak dilihat dari berapa besar penguasaan sains di suatu Negara, tetapi justru
terlihat dalam usaha mempersiapkan anak-anak dalam melak sains sejak awal.
Pendidikan sains diajarkan untuk mencari tahu dan
berbuat sehingga dapat membantu siswa untuk lebih memahami tentang alam
sekitar. (Kumara, 2004) Peran siswa yang semula pasif menerima informasi dari
gurunya harus diubah menjadi lebih aktif dalam belajarnya. Siswa harus
dilibatkan dalam pengelolaan belajarnya di samping melatih kemandirian siswa
juga menjadikan siswa itu menjadi lebih bertanggung jawab terhadap belajarnya
sendiri. Dalam hal ini perlu diterapkan suatu model pembelajaran yang dapat
mendorong siswa agar aktif dan terlibat dalam setiap kegiatan pembelajaran
sehingga mampu meningkatkan kemandirian belajar dan prestasi belajar IPA siswa.
Model pembelajaran
merupakan cara yang digunakan oleh seorang guru untuk menunjang proses belajar siswa
dengan pola dan kegiatan bertahap (Trianto, 2007). Salah satu model yang dapat
digunakan untuk meningkatkan kemandirain dan prestasi belajar IPA yaitu penerapan
model pembelajaran discovery-inquiry. Dalam makalah ini disajikan model
pembelajaran discovery-inquiry secara lengkap sebagai bahan
acuan bagi pembelajaran IPA.
1.2 Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari
latar belakang diatas, maka dapat ditarik beberapa rumusan masalah sebagai
berikut:
1.
Apa model pembelajaran discovery?
2.
Apa model pembelajaran inquiry?
3.
Apa model pembelajaran discovery inquiry?
1.3 Tujuan
Berdasarkan pada
rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.
Menjelaskan model pembelajaran discovery.
2.
Menjelaskan model pembelajaran inquiry.
3.
Menjelaskan model pembelajaran discovery-inquiry.
1.4 Manfaat
Adapun manfaat yang
dapat dipetik melalui pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1) Manfaat Teoretis
a) Makalah
ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengambil kebijakan sebagai bahan
pertimbangan dalam pengembangan dunia pendidikan.
b) Sebagai
pengembangan dan rangkuman ilmu yang menjadi sumbangan bagi ilmu pengetahuan,
dan khususnya bagi pendidikan, untuk memperkaya studi tentang model
pembelajaran discovery-inquiry.
c) Sebagai
khasanah pengetahuan bagi pembaca dan bahan referensi bagi disiplin ilmu yang
terkait.
2) Manfaat praktis
a) Dapat
menjadi acuan bagi guru-guru dalam memahami pendidikan dan pembelajaran.
b) Manfaat
lain dalam pembuatan makalah ini adalah memberikan pengetahuan kepada mahasiswa
jurusan teknologi pembelajaran mengenai model pembelajaran discovery-inquiry.
c) Bagi
masyarakat umum agar memahami pemanfaatan model pembelajaran discovery-inquiry dalam pembelajaran.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Model Pembelajaran Discovery
2.1.1 Pengertian
Pengertian Model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan adalah teori belajar yang
didefinisikan sebagai proses pembelajaran yang terjadi
apabila materi pembelajaran tidak disajikan
dengan dalam bentuk finalnya, tetapi
diharapkan peserta didik itu sendiri yang mengorganisasi
sendiri. Hal ini sejalan dengan pendapat Bruner, bahwa: “Discovery
Learning can be defined as the
learning that takes place when the student
is not presented with subject matter
in the final form, but rather is
required to organize it him self”
(Lefancois dalam Emetembun, 1986:103). Dasar pemikiran Bruner tersebut
adalah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan aktif
dalam belajar di kelas. Bruner memakai metode yang disebutnya discovery learning, dimana murid
mengorganisasi bahan yang dipelajari dengan satu bentuk akhir (Dalyono,
1996:41). Sedangkan menurut Budiningsih, (2005:43) pengertian model
pembelajaran discovery learning atau
penemuan diartikan pula sebagai cara belajar memahami konsep, arti, dan
hubungan, melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu
kesimpulan.
Discovery terjadi bila individu terlibat,
terutama dalam penggunaan proses mentalnya untuk menemukan beberapa konsep dan
prinsip. Discovery dilakukan melalui
observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi, penentuan dan inferi. Proses
tersebut oleh Robert B. Sund (dalam Malik, 2001:219) disebut cognitive process,
sedangkan discovery itu sendiri
adalah the mental process of assimilating conceps and principles in the mind.
Model pembelajaran discovery learning
atau penemuan merupakan salah satu model pembelajaran yang menuntut siswa
aktif. Sebagai strategi belajar, model pembelajaran discovery learning mempunyai prinsip yang sama dengan inquiry (inquiry) dan problem solving. Tidak ada perbedaan yang prinsipil
pada ketiga istilah ini, namun pada discoverl learning lebih menekankan pada
ditemukannya konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak diketahui. Perbedaan discovery learning dengan inquiry learning ialah bahwa pada discovery masalah yang dihadapi siswa
atau peserta didik adalah semacam masalah yang direkayasa oleh guru, sedangkan
pada inquiry learning masalahnya
bukan hasil rekayasa, sehingga siswa harus mengarahkan seluruh fikiran dan
keterampilannya untuk mendapatkan temuan-temuan di dalam masalah itu melalui
proses penelitian. Sedangkan perbedaan discovery
learning dengan problem solving lebih member tekanan pada kemampuan
menyelesaikan masalah.
Prinsip belajar yang Nampak jelas dalam discovery learning adalah materi atau bahan pelajaran yang akan
disampaikan tidak disampaikan dalam bentuk final akan tetapi siswa sebagai
peserta didik didorong untuk mengidentifikasi apa yang ingin diketahui
dilanjutkan dengan mencari informasi sendiri kemudian mengorganisasi atau
membentuk (konstruktif) apa yang mereka ketahui dan mereka pahami suatu bentuk
akhir. Dengan mengaplikasikan metode discovery
learning secara berulang-ulang dapat meningkatkan kemampuan penemuan diri
individu yang bersangkutan. Penggunaan metode atau model discovery learning, ingin merubah kondisi belajar yang pasif
menjadi aktif dan kreatif. Mengubah pembelajaran yang teacher oriented ke
student oriented. Mengubah modus discovery
siswa menemukan informasi sendiri.
2.1.2 Konsep
Dalam konsep belajar, sesungguhnya metode discovery learning merupakan pembentukan
kategori-kategori atau konsep-konsep, yang dapat memungkinkan terjadinya
generalisasi. Sebagaimana teori Bruner tentang kategorisasi yang Nampak dalam
model pembelajaran discovery, bahwa discovery adalah pembentukan kategori-kategori,
atau lebih sering disebut sistem-sistem coding. Pembentukan kategori-kategori
dan sistem-sistem coding dirumuskan demikian dalam arti relasi-relasi
(similaritas & difference) yang terjadi diantara obyek-obyek dan
kejadian-kejadian (events).
Bruner memandang bahwa suatu konsep atau kategorisasi
memiliki lima unsur, dan siswa dikatakan memahami suatu konsep apabila
mengetahui semua unsure dari konsep itu, meliputi: (1) nama, (2) contoh-contoh
baik yang positif maupun yang negative, (3) karakteristik, baik yang pokok
maupun tidak, (4) rentangan karakteristik, (5) kaidah (Budiningsih, 2005:43).
Bruner menjelaskan bahwa pembentukan konsep merupakan dua kegiatan mengkatagori
yang berbeda yang menuntut proses berfikir yang berbeda pula. Seluruh kegiatan
mengkatagori meliputi mengidentifikasi dan menempatkan contoh-contoh
(obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa) kedalam kelas dengan menggunakan dasar
kriteria tertentu. Didalam proses belajar, Bruner mementingkan pertisipasi
aktif dari tiap siswa, dan mengenal dengan baik adanya perbedaan kemempuan.
Untuk menunjang proses belajar perlu lingkungan memfasilitasi rasa ingin tahu
siswa pada tahap eksplorasi. Lingkungan ini dinamakan discovery learning environment, yaitu lingkungan dimana siswa dapat
melakukan eksplorasi, penemuan-penemuan baru yang belum dikenal atau pemahaman
yang mirip dengan yang sudah diketahui. Lingkungan seperti ini bertujuan agar
siswa dalam proses belajar dapat berjalan dengan baik dan kreatif.
Untuk memfasilitasi proses belajar yang baik dan kreatif
harus berdasarkan pada manipulasi bahan pelajaran sesuai dengan tingkat
perkembangan kognitif siswa. Manipulasi bahan pelajaran bertujuan untuk
memfasilitasi kemampuan siswa dalam berfikir (merepresentasikan apa yang
dipahami) sesuai dengan tingkat perkembangannya. Menurut Bruner perkembangan
kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh bagaimana
cara lingkungan, yaitu: enactive, iconic, dan symbolic. Tahap enactive,
seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya untuk memahami lingkungan
sekitarnya, artinya dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan
pengetahuan motorik, misalnya melalui gigitan, sentuhan, pegangan, dan
sebagainya. Tahap iconic, seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui
gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia
sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan
(komparasi). Tahap symbolic, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau
gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuan dalam berbahasa
dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui simbil-simbol
bahasa, logika, matematika, dan sebagainya.
Komunikasi dilakukan dengan menggunakan banyak simbol.
Semakin matang seseorang dalam proses berfikirnya, semakin dominan sistem
simbolnya. Secara sederhana teori perkembangan dalam fase enactive, iconic dan
symbolic adalah anak menjelaskan sesuatu melalui perbuatan (ia bergeser ke
depan atau kebelakang di papan mainan untuk menyesuaikan beratnya dengan berat
temannya bermain) ini fase enactive. Kemudian pada fase iconic ia menjelaskan
keseimbangan pada gambar atau bagian dan akhirnya ia menggunakan bahasa untuk
menjelaskan prinsip keseimbangan ini fase symbolic (Sukmadinata, 2001:85).
Dalam mengaplikasikan model pembelajaran discovery learning atau penemuan guru
berperan sebagai pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
belajar secara aktif, sebagaimana pendapat guru harus dapat membimbing dan
mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan (Sardiman, 2005:145).
Kondisi seperti ini ingin merubah kegiatan belajar mengajar yang teacher oriented menjadi student oriented. Hal yang menarik dalam
pendapat Bruner yang menyebutkan: hendaknya guru harus memberikan kesempatan
muridnya untuk menjadi seorang problem solver, seorang scientis, historin, atau
ahli matematika. Dalam metode discovery
learning bahan ajar tidak disajikan dalam bentuk akhir, siswa dituntut untuk
melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi, membandingkan,
mengkatagorikan, menganalisis, mengintegrasikan bahan serta membuat
kesimpulan-kesimpilan. Hal tersebut memungkinkan murid-murid menemukan arti
bagi diri mereka sendiri, dan memungkinkan mereka untuk mempelajari
konsep-konsep di dalam bahasa yang dimengerti mereka. Dengan demikian seorang
guru dalam aplikasi metode diecovery learning harus dapat menempatkan siswa
pada kesempatan dalam belajar yang lebih mandiri. Bruner mengatakan bahwa
proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan atau
pemahaman melalui contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya (Budiningsih,
2005:41).
Karakteristik yang paling jelas mengenai discovery sebagai metode mengajar ialah
bahwa sesudah tingkat inisial (pemulaan) mengajar, bimbingan guru hendaknya
lebih berkurang daripada metode mengajar lainnya. Hal ini tak berarti bahwa
guru menghentikan untuk memberikan suatu bimbingan setelah problema disajikan
kepada siswa. Tetapi bimbingan yang diberikan tidak hanya dikurangi diraktifnya
melainkan siswa diberi responsibilitas yang lebih besar untuk belajar sendiri.
Berdasarkan uraian diatas, pengertian model pembelajaran discovery learning atau penemuan adalah pembelajaran untuk
menemukan konsep, makna, dan hubungan kausal melalui pengorganisasian
pembelajaran yang dilakukan oleh peserta didik.
2.1.3
Tujuan
Menurut Illahi (2012), tujuan discovery learning yang memiliki pengaruh besar bagi siswa adalah
sebagai berikut :
1)
Mengembangkan Kreativitas
Menurut Munandar (2012), pengertian kreativitas terbagi
dalam tiga kelompok yaitu: (a) kreativitas sebagai gaya hidup, siswa akan
dihadapkan pada rangsangan yang membuatnya bergerak melakukan sesuatu, sehingga
ketika ia bergerak, ia akan mengembangkan suasana kreatif dalam dirinya, (b)
kreativitas sebagai karya tersendiri, pembelajaran discovery menuntut adanya hasil karya melalui pengkajian konsep
atau teori pembelajaran, (c) kreativitas sebagai proses intelektual, kemampuan
untuk menghasilkan kreativitas memiliki dampak yang sangat besar bagi kemampuan
berfikir siswa. Siswa yang berfikir inovatif, secara tidak langsung telah
menggunakan proses intelektual mereka untuk pertimbangan yang sangat matang.
Ciri-ciri kretif meliputi keterbukaan terhadap pengalaman, penilaian mendalam, kesanggupan
berinteraksi dengan bebas, menumbuhkan motivasi dalam belajar. Model discovery learning menyediakan
pengalaman langsung sesuai dengan strategi pembelajaran yang ditawarkan. Model
ini melibatkan langsung mental dan fisik untuk memperoleh hasil dari sesuatu
kesimpulan permasalahan yang sedang diperbincangkan.
2)
Mengembangkan Kemampuan Berfikir
Rasional dan Kritis
Berfikir rasional dan kritis adalah perwujudan perilaku yang
berkaitan dengan pemecahan masalah (Illahi, 2012). Pada umumnya, siswa yang berfikir
secara rasional dan kritis akan menggunakan prinsip dan dasar-dasar dalam
menjawab pertanyaan, seperti bagaimana dan mengapa.
3)
Meningkatkan Keaktifan Siswa dalam
Proses Pembelajaran
Dengan keterlibatan secara langsung, siswa dituntut untuk
memaksimalkan kegiatan belajar dengan penuh keseriusan dan kecermatan, sebab
bagaimanapun juga, keaktifan menjadi salah satu modal dalam memahami materi
pelajaran yang diberikan oleh guru.
4)
Belajar Memecahkan Masalah
Memecahkan masalah adalah metode belajar yang mengharuskan
pelaksanaannya untuk menemukan jawaban tanpa bantuan khusus. Tujuan lain dari
model discovery learning adalah
belajar memecahkan masalah, tujuan ini mempunyai relevansi dengan kemampuan
berfikir solutif siswa dalam memahami suatu konsep atau teori yang membutuhkan
analisis dan pengkajian secara substansial. Ketika mereka mampu menggunakan
kemampuan berfikir mereka secara solutif, maka secara tidak langsung akan
menemukan sesuatu yang baru. Dengan demikian, hal ini akan menghasilkan suatu
kesimpulan dari persoalan yang menadi bahan pelajaran.
5)
Mendapatkan Inovasi dalam Proses
Pembelajaran
Aplikasi dari model discovery
learning menekankan pada keterlibatan siswa secara bebas untuk
mengungkapkan pengalaman-pengalaman belajar yang telah dilalui. Hal ini
kemudian menadi salah satu pertimbangan bagaimana mengaktualisasikan inovasi
baru dalam proses pembelajaran.
2.1.4 Langkah-langkah
Menurut Syah (2004:244) dalam mengaplikasikan Discovery Learning di kelas, ada
beberapa prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar
secara umum sebagai berikut:
1) Stimulation (Stimulasi/Pemberian
Rangsangan),
Pada tahap ini siswa dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan tanda tanya,
kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, agar timbul keinginan
untuk menyelidiki sendiri. Disamping itu guru dapat memulai kegiatan PBM dengan
mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya yang
mengarah pada persiapan pemecahan masalah.
2) Problem Statement
(Pernyataan/Identifikasi Masalah), Setelah dilakukan stimulasi, langkah selanjutnya adalah guru
memberi kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak
mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran,
kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban
sementara atas pertanyaan masalah), Syah (2004:244).
3) Data Collection (Pengumpulan
Data), Ketika
eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada para siswa untuk
mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar
atau tidaknya hipotesis, Syah (2004:244). Pada tahap ini berfungsi untuk
menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya hipotesis. Dengan demikian
siswa diberi kesempatan untuk mengumpulkan (collection) berbagai informasi yang
relefan, membaca literatur.
4) Data Processing (Pengolahan
Data), Semua
informasi hasil bacaan, diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan
bila perlu dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat
kepercayaan tertentu. Data processing disebut juga dengan
pengkodean/kategorisasi yang berfungsi pada pembentukan konsep dan
generalisasi.
5) Verification (Pembuktian), Pada tahap ini siswa melakukan
pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang
ditetapkan tadi dengan temuan alternatif, dihubungkan dengan data hasil
processing, Syah (2004:244). Verification menurut Bruner, bertujuan agar proses
belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan atau
pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya.
6) Generalization ( Menarik
Kesimpulan/Generalisasi), Tahap generalisasi atau menarik kesimpulan adalah proses
menarik sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk
semua kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan verifikasi, Syah
(2004:244). Setelah menarik kesimpulan siswa harus memperhatikan proses
generalisasi yang menekankan pentingnya penguasaan pelajaran atas makna dan
kaidah atau prinsip-prinsip yang luas yang mendasari pengalaman seseorang,
serta pentingnya proses pengaturan dan generalisasi dari pengalaman-pengalaman
itu.
2.1.5 Kelebihan
Takdir (2012:70) mengemukakan beberapa kelebihan belajar
mengajar dengan discovery, yaitu: (1)
Dalam penyampaian bahan discovery,
digunakan kegiatan dan pengalaman langsung. Kegiatan dan pengalaman tersebut
akan lebih menarik perhatian anak didik dan memungkinkan pembentukan
konsep-konsep abstrak yang mempunyai makna: (2) Discovery strategy lebih realistis dan mempunyai makna. Sebab, para
anak didik dapat bekerja langsung dengan contoh-contoh nyata: (3) Discovery strategy merupakan suatu model
pemecahan masalah. Para anak didik langsung menerapkan prinsip dan langkah awal
dalam pemecahan masalah. Melalui strategi ini mereka mempunyai peluang untuk
belajar lebih intens dalam memecahkan masalah sehingga dapat berguna dalam
menghadapi kehidupan dikemudian hari: (4) Dengan sejumlah transfer secara
langsung, maka kegiatan discovery
strategy akan lebih mudah diserap oleh anak didik dalam memahami kondisi
tertentu yang berkenaan dengan aktivitas pembelajaran: (5) Discovery strategy banyak memberikan kesempatan bagi para peserta
didik untuk terlibat langsung dalam kegiatan belajar.
Beberapa kelebihan metode penemuan juga diungkapkan oleh
Suherman, (2001: 179) sebagai berikut: (1) Siswa aktif dalam kegiatan belajar,
sebab ia berpikir dan menggunakan kemampuan untuk menemukan hasil akhir: (2)
Siswa memahami benar bahan pelajaran, sebab mengalami sendiri proses
menemukannya. Sesuatu yang diperoleh dengan cara ini lebih lama diingat: (3)
Menemukan sendiri menimbulkan rasa puas. Kepuasan batin ini mendorong ingin
melakukan penemuan lagi sehingga minat belajarnya meningkat: (4) Siswa yang
memperoleh pengetahuan dengan metode penemuan akan lebih mampu mentransfer
pengetahuannya ke berbagai konteks.
2.1.6 Kelemahan
Adapun kelemahan model discovery
yang dikemukakan Takdir (2012:70), yaitu: (1) Guru merasa gagal mendeteksi
masalah dan adanya kesalahpahaman antara guru dengan siswa: (2) Menyita
pekerjaan guru: (3) Tidak semua siswa mampu melakukan penemuan: (4) Tidak
berlaku untuk semua topik: (5) Berkenaan dengan waktu, strategi discovery learning membutuhkan waktu
yang lebih lama daripada ekspositori: (6) Kemampuan berfikir rasional siswa ada
yang masih terbatas: (7) Kesukaran dalam menggunakan faktor subjektivitas,
terlalu cepat pada suatu kesimpulan: (8) Faktor kebudayaan atau kebiasaan yang
masih menggunakan pola pembelajaran lama: (9) Tidak semua siswa dapat mengikuti
pelajara dengan cara ini. Di lapangan beberapasiswa masih terbiasa dan mudah mengerti
dengan model ceramah: (10) Tidak semua topik cocok disampaikan dengan model
ini. Umumnya topik-topik yang berhubungan dengan prinsip dapat dikembangkan
dengan model penemuan.
2.2
Model Pembelajaran Inquiry
2.2.1 Pengertian
Kata inquiry berarti pertanyaan atau penyelidikan (Kuslan & Stone,
dalam Trisna 2015) mendefinisikan inquiry
sebagai suatu pencarian kebenaran, informasi, atau pengetahuan. Upaya pencarian
tersebut dilakukan melalui pertanyaan. Melalui proses inquiry siswa dapat mengkonstruksi pengetahuannya. Inquiry ini lebih menekankan tentang
bagaimana kita mengetahui dan mengurangi tentang apa yang kita ketahui. Untuk
memperoleh pengetahuan dan memahaminya dalam pendekatan inquiry dapat dilakukan dengan jalan bertanya, observasi,
investigasi, analisis, dan evaluasi. Suastra (2009) menyatakan bahwa inquiri
dibentuk melalui discovery, karena
itu siswa harus menggunakan kemampuan discovery.
Dengan kata lain, inquiry adalah
suatu perluasan proses-proses discovery
yang digunakan dalam cara yang lebih dewasa. Sebagai tambahan dalam proses discovery-inquiry mengandung proses
mental yang lebih tinggi tingkatannya, misalnya menerapkan sikap ilmiah dalam
melakukan metode ilmiah. Sehingga siswa dapat berkembang kemampuan discovery-inquirinya, hanya apabila ia
terlibat dalam kegiatan yang menuntut pelaksanaan tugas mental.
Model pembelajaran inquiry adalah rangkaian kegiatan
pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analisis
untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang
dipertanyakan” (Sanjaya, 2006:194). Menurut piaget (Mulyasa, 2008:108) bahwa
model pembelajaran inquiry adalah
model pembelajaran yang mempersiapkan siswa pada situasi untuk melakukan
eksperimen sendiri secara luas agar melihat apa yang terjadi, ingin melakukan
sesuatu, mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dan mencari jawabannya sendiri,
serta menghubungkan penemuan yang satu dengan penemuan yang lain, membandingkan
apa yang ditemukannya dengan yang ditemukan siswa lain. Dengan melihat kedua
pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran inquiry adalah model pembelajaran yang mempersiapkan siswa pada
situasi untuk melakukan eksperimen sendiri sehingga dapat berpikir secara
kritis untuk mencari dan menemukan jawaban dari suatu masalah yang
dipertanyakan.
2.2.2 Teori yang Mendasari
Pembelajaran Inquiry
Model pembelajaran inquiry adalah salah satu cara belajar
atau pemecahan suatu masalah yang bersifat mencari pemecahan masalah dengan
cara yang kritis, analitis, ilmiah dengan menggunakan langkah-langkah tertentu
menuju kesimpulan yang meyakinkan dengan adanya dukungan data. Pembelajaran
inquiri berangkat dari asumsi bahwa sejak manusia lahir ke dunia, manusia
memiliki dorongan untuk menemukan sendiri pengetahuannya. Rasa ingin tahu
tentang keadaan alam disekelilingnya merupakan kodrat manusia sejak lahir ke
dunia. Sejak kecil manusia memiliki keinginan untuk mengenal segala sesuatu
melalui panca inderanya. Hingga dewasa keingintahuan manusia secara terus
menerus berkembang dengan menggunakan otak dan pikirannya.
Pengetahuan yang dimiliki siswa akan
bermakna (meaningful) apabila
didasari oleh keingintahuan, sehingga dikembangkan model pembelajaran inquiry. Teori belajar Gestalt
menjelaskan bahwa perubahan perilaku itu disebabkan karena adanya insting dalam
diri siswa, dengan demikian tugas guru adalah menyediakan lingkungan yang dapat
memungkinkan setiap siswa biasa menangkap dan mengembangkannya sendiri. Teori
Kurt Lewin menyatakan bahwa belajar pada dasarnya adalah proses pengubahan
struktur kognitif. Teori ini lebih menekankan pentingnya hadiah dan kesuksesan
sebagai faktor yang dapat meningkatkan motivasi belajar setiap individu.
Pembelajaran inquiry merupakan bentuk dari pendekatan pembelajaran yang
berorientasi pada siswa (student centered
approach). Dikatakan demikian karena dalam model ini siswa memegang peran
yang sangat dominan dalam proses pembelajaran. Makna proses belajar yang
berpusat pada siswa (student oriented)
adalah guru memiliki peran yang sangat banyak, sehingga mengakomodasi
kepentingan siswa sebagai subyek yang belajar sesuai dengan bakat, minat dan
kemampuan yang dimilikinya. Peran guru yang dimaksud adalah sebagai berikut:
(1) motivator, member rangsangan agar siswa aktif dan mau berfikir, (2)
fasilitator, menunjukkan jalan keluar jika siswa mengalami kesulitan, (3)
penanya, menyadarkan siswa dari kekeliruan yang mereka buat, (4) administrator,
bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan kelas, (5) pengarah, memimpin
kegiatan siswa untuk mencapai tujuan yang diharapkan, (6) manajer, mengelola
sumber belajar, waktu dan organisasi kelas, (7) rewarder, member penghargaan pada prestasi yang dicapai siswa.
2.2.3 Sintaks
Inquiry dimulai dengan menimbulkan
peristiwa yang membingungkan siswa. Keadaan ini tentunya akan mendorong siswa
untuk berusaha menemukan arti fenomena yang dihadapi. Untuk memperoleh
pengertian mengenai fenomena yang dihadapi siswa harus mampu menggunakan kekomplekan
proses berfikir dan harus terampil menghubungkan data menjadi konsep dan
menggunakan konsep-konsep yang diperoleh untuk mengidentifikasi prinsip-prinsip
kausal.
Kegiatan inquiry
sebenarnya merupakan sebuah siklus belajar yang terdiri dari langkah-langkah
sebagai berikut (Nurhadi & Gerad, dalam Trisna, 2015): (1) merumuskan
masalah dalam mata pelajaran apapun, (2) mengumpulkan data melalui observasi:
(a) membaca buku atau sumber lain untuk mendapatkan informasi pendukung, (b)
mengamati dan mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dari sumber atau obyek yang
diamati, (3) menganalisis dan menyajikan hasil dalam bentuk tulisan, gambar,
laporan, tabel dan karya lainnya, (4) mengkomunikasikan atau menyajikan hasil
karya pada pembaca, teman sekelas atau audiens
yang lain. Adapun langkah-langkah yang digunakan dalam penyajian materi dengan
menggunakan inquiry adalah sebagai
berikut: (1) fase berhadapan dengan masalah, (2) fase pengumpulan data
pengujian, (3) fase pengumpulan data dan eksperimen, (4) fase formulasi penjelasan,
(5) fase analisis proses inquiry.
Trianto (2007) membagi langkah model inquiry ke dalam beberapa tahapan berikut: (1) merumuskan masalah
untuk dipecahkan oleh siswa, (2) menetapkan jawaban sementara atau lebih
dikenal dengan hipotesis, (3) mencari informasi, data, dan fakta yang
diperlukan untuk menjawab hipotesis atau permasalahan, menarik kesimpulan
jawaban atau generalisasi, mengaplikasikan kesimpulan.
Dengan melihat langkah-langkah di atas, maka model
pembelajaran inquiry akan efektif
manakala: (1) Guru mengharapkan siswa
dapat menemukan sendiri jawaban dari suatu permasalahan yang ingin dipecahkan.
Dengan demikian dalam pembelajaran inquiry
penguasan, materi pelajaran bukan sebagai tujuan utama pembelajaran, akan
tetapi yang lebih dipentingkan adalah proses belajar, (2) Jika bahan pelajaran
yang akan diajarkan tidak berbentuk fakta atau konsep yang sudah jadi, akan
tetapi sebuah kesimpulan yang perlu pembuktian, (3) Jika proses pembelajaran
berangkat dari rasa ingin tahu siswa terhadap sesuatu, (4) Jika guru akan
mengajar pada sekelompok siswa yang rata-rata memiliki kemauan dan kemampuan
berpikir. pembelajaran inquiry akan
kurang berhasil diterapakan kepada siswa yang kurang memiliki kemampuan untuk
berpikir, (5) Jika jumlah siswa yang belajar tak terlalu banyak sehingga bisa
dikendalikan oleh guru, (6) Jika guru
memiliki waktu yang cukup untuk menggunakan pendekatan yang berpusat pada
siswa.
2.2.4 Keunggulan dan Kelemahan
Model
pembelajaran inquiry adalah model
pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan kognitif siswa. Selain itu,
setting pembelajarannya yang memacu siswa untuk selalu bertanya dan berdiskusi
memungkinkan siswa berlatih berkomunikasi dengan orang lain sehingga
keterampilan bersosialnya juga meningkat. Pemahaman oleh guru mengenai
kelebihan-kelebihan dan kelemahan-kelemahan yang mungkin muncul dalam
pelaksanaan model pembelajaran inquiry
di kelasnya, akan dapat memperbaiki efektifitas model pembelajaran ini. Guru
yang berbeda mungkin akan mendapati hasil yang berbeda pula terkait efektivitas
model pembelajaran ini. Dengan semakin memahami kelebihan-kelebihan dan
kekurangan-kekurangan model pembelajaran inquiry
diharapkan guru akan semakin dapat mengantisipasi hal-hal yang perlu sehingga
tingkat efektivitas implementasi model pembelajaran ini dapat semakin
meningkat.
Adapun keunggulan model pembelajaran inquiry adalah:
- Terjadi peningkatan kemampuan
ingatan dan pemahaman terhadap materi pembelajaran oleh siswa, karena
pengetahuan atau informasi yang mereka peroleh berdasarkan pengalaman
belajar mereka yang otentik ketika mereka (siswa) menemukan sendiri
jawaban akan pertanyaan-pertanyaan yang juga mereka ajukan sendiri saat
proses pembelajaran. Pemahaman yang mendalam oleh siswa terhadap materi
pembelajaran juga membuat mereka lebih mudah mengaplikasikan pengetahuan
itu pada situasi yang baru.
- Model pembelajaran inquiry meningkatkan keterampilan
siswa dalam pemecahan masalah pada situasi-situasi baru dan berbeda yang
mungkin mereka dapati pada saat-saat lain (mendatang). Sebagai hasil dari
pembelajaran inquiry,
siswa-siswa menjadi terlatih dan terbiasa menghadapi
permasalahan-permasalahan baru yang ditemui. Mereka juga mempunyai
keterampilan-keterampilan khusus untuk memecahkan masalah tersebut.
- Model pembelajaran inquiry membantu guru secara
simultan meningkatkan motivasi belajar siswa. Dalam model pembelajaran
ini, siswa selalu diberikan kesempatan untuk mempelajari
informasi-informasi yang mereka minati atau memecahkan masalah-masalah yang
mereka formulasikan sendiri lewat pertanyaan-pertanyaan yang diajukan di
awal pembelajaran. Secara alamiah motivasi siswa akan terbangun karena apa
yang informasi yang dipelajari atau masalah yang sedang dipecahkan
merupakan hal-hal yang menarik perhatian dan pemikiran mereka.
- Siswa dalam model pembelajaran inquiry akan belajar bagaimana
mengatur diri mereka sendiri untuk belajar. Hal ini akan terjadi karena
belajar menjadi kebutuhan bagi mereka. Secara bertahap mereka akan belajar
bagaimana mengatur diri mereka untuk belajar secara efektif dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan dan memecahkan masalah. Proses ilmiah (metode
ilmiah) yang menjadi dasar langkah-langkah (sintaks) pembelajaran akan
terotomatisasi dalam diri siswa sehingga ketika mereka berhadapan dengan
masalah (juga di dunia nyata/kehidupan sehari-hari), maka mereka akan
menerapkan keterampilan ini.
- Konsep-konsep dasar suatu
materi pembelajaran akan dapat diingat dan mengendap dengan baik dalam
memori siswa. Konsep-konsep dasar suatu pengetahuan sangat penting bagi
perkembangan kognitif siswa sehingga akan memudahkan mereka menyerap
informasi lainnya yang berhubungan.
- Langkah-langkah model
pembelajaran inquiry
memungkinkan siswa mempunyai waktu yang cukup untuk mengasimilasi dan
mengakomodasi setiap informasi yang relevan yang mereka peroleh, sehingga
pengetahuan yang mereka miliki akan semakin mantap, luas dan mendalam.
- Model pembelajaran inquiry memberikan dorongan secara
tidak langsung kepada siswa untuk bekerja sama, bersikap objektif, jujur,
percaya diri, penuh tanggung jawab, berbagi tugas dan sebagainya. Pada
intinya, beragam keterampilan akan dikuasai oleh siswa dan secara
terus-menerus terasah dalam penerapan model pembelajaran inquiry ini.
- Bagi siswa, ketika mereka
belajar dengan model pembelajaran inquiry,
mereka akan tahu bahwa sumber informasi itu bisa datang dari mana saja,
tidak melulu dari guru. Dan ini sangat penting untuk menjadikan mereka
sebagai orang-orang yang rajin mencari dan menggunakan informasi dari
beragam sumber, memilah-milahnya untuk mengambil yang relevan dengan
kebutuhan mereka dan kemudian mengolahnya untuk menjadikannya sebagai
pengetahuan bagi diri mereka sendiri.
- Bagi guru yang selalu tanpa
sadar terjebak dalam pola tradisional (pembelajaran berpusat pada guru,
dan pembelajaran dikuasai oleh guru), akan dapat mereduksi kemungkinan ini
dan secara berangsur-angsur guru akan bisa menahan diri sehingga siswa
tidak melulu memperoleh informasi dari guru saja, tetapi memungkinkan
kelas menjadi lebih hidup dan dinamis dengan munculnya diskusi-diskusi di
dalam kelompok dan arus pertukaran informasi yang lebih banyak dan
bermakna.
- Saat diskusi-diskusi atau
pertanyaan-pertanyaan dilontarkan oleh siswa kepada guru atau kepada siswa
lain di kelas tersebut, maka dengan mudah guru dapat mengambil keuntungan
lain, yaitu ia dapat sekaligus mengetahui dan mengecek pemahaman dan
penguasaan siswa terhadap suatu materi pembelajaran atau suatu
permasalahan.
Sedangkan
kelemahan model pembelajaran inquiry
antara lain sebagai berikut:
- Permasalahan dengan waktu yang
dialokasikan. Apabila guru dan siswa belum begitu terbiasa melaksanakan
model pembelajaran inkuri, maka ada kemungkinan yang besar waktu tidak
dapat dimanajemen dengan baik. Pencarian dan pengumpulan informasi bisa
saja akan memakan waktu lama atau bahkan jauh lebih lama dibanding jika
guru langsung memberi tahu siswa tentang informasi tersebut. Godaan kepada
guru untuk segera memberitahu akan menyebabkan model pembelajaran inquiry yang dilaksanakannya
menjadi tidak berfungsi dengan baik. Perlu kesabaran guru untuk menahan
diri dari memberi tahu secara langsung. Sebaiknya siswa diberikan
kesempatan dan waktu lebih banyak untuk belajar secara mandiri dan
memanajemen proses belajar mereka, sehingga mereka semakin terbiasa dan waktu
berangsur-angsur tak lagi akan menjadi sebuah masalah besar dalam
implementasi model pembelajaran ini.
- Pembelajaran inkuri yang
dilakukan oleh siswa dapat melenceng arahnya dari tujuan semula karena
mereka belum terbiasa melakukannya. Seringkali siswa justru mengumpulkan
informasi yang tidak relevan dan tidak begitu penting. Oleh karena itu,
peranan guru sebagai fasilitator pembelajaran yang handal sangat
diperlukan. Bersama latihan dan pembelajaran yang lebih sering, kendala
kehilangan arah ini akan dapat direduksi dengan lebih baik.
- Pada akhir suatu pembelajaran
yang menerapkan model pembelajaran inkuri, bisa saja setelah segala upaya
dan kerja keras yang dilakukan oleh siswa dan kelompoknya ternyata
membuahkan hasil yang salah, keliru, kurang lengkap, atau kurang bagus.
Ini bisa jadi akan dapat menurunkan motivasi belajar mereka. Oleh karena
itu guru perlu hati-hati dan "awas" terhadap apa yang sedang
berlangsung di dalam kelompok-kelompok belajar di kelasnya agar setiap
pembelajaran yang dilaksanakan memberikan hasil yang memuaskan bagi siswa.
- Akan terjadi hambatan dalam
pelaksanaan model pembelajaran inquiry
ini pada siswa-siswa yang telah terbiasa menerima informasi dari guru.
Siswa-siswa yang tidak terbiasa akan ragu-ragu dalam bertindak sehingga
seringkali pembelajaran macet di tengah jalan. Kesabaran guru di awal-awal
pelaksanaan model pembelajaran ini sangat diperlukan. Ketika siswa mulai
terbiasa, keragu-raguan dalam bertindak, mencari informasi, mengolahnya
untuk kemudian membuat simpulan berdasarkan versi mereka sendiri akan
lebih mudah dan lancar.
- Jika jumlah siswa di dalam
kelas terlalu banyak, maka guru mungkin akan mengalami kesulitan untuk
memfasilitasi proses belajar seluruh siswa.
- Ketika pembelajaran inquiry yang selalu disetting dalam
kelompok-kelompok ini berlangsung, biasanya ada beberapa siswa yang kurang
aktif dalam kelompoknya. Bagaimana cara guru memotivasi dan membantu
mereka untuk dapat besinergi dengan anggota kelompoknya lalu mengambil
peranan yang disukainya akan sangat bermanfaat untuk mereduksi
keadaan-keadaan seperti ini.
2.2.5 Jenis-Jenis Model Pembelajaran
Inquiry
Prinsip kebebasan intelektual dan kerjasama dalam model inquiry menjadi landasan strategis untuk
memberdayakan siswa dalam pembelajaran seoptimal mungkin. Beberapa macam model
pembelajaran inkuiri diantaranya:
1. Guide Inquiry
Pembelajaran inkuri terbimbing
merupakan suatu model pembelajaran inkuiri yang dalam prosesnya guru
menyediakan bimbingan dan petunjuk yang cukup luas kepada siswa. Sebagian besar
perencanaanya dibuat oleh guru, siswa tidak merumuskan suatu masalah.
2. Modified Inquiry
Model pembelajaran tipe ini guru
tidak memberikan permasalahan, kemudian siswa ditugasi untuk memecahkan
permasalahan tersebut melalui pengamatan, percobaan, atau prosedur penelitian
untuk memperoleh jawabannya. Disamping itu guru memperoleh narasumber yang
tugasnya hanya memberikan yang diperlukan untuk menghindari kegagalan dalam
memecahkan masalah.
3. Free Inquiry
Model ini harus mengidentifikasi dan
merumuskan macam-macam problema yang dipelajari dan dipecahkan. Jenis model ini
lebih bebas dari pada yang kedua jenis sebelumnya.
4. Inquiry Role Approach
Model pembelajaran inkuiri model ini
melibatkan dalam tim-tim yang masing-masing terdiri atas empat untuk memecahkan
masalah yang diberikan. Masing-masing anggota memegang peranan berbeda, yaitu
sebagai koordinator tim, penasehat teknis, pencatat data, dan evaluator proses.
5. Invitation Into Inquiry
Model inkuiri jenis ini siswa
dilibatkan dalam proses pemecahan masalah dengan cara-cara yang lazim ditempuh
oleh para ilmuan, suatu undangan (invitation) memberikan suatu problema kepada
para siswa dan melalu pertanyaan masalah yang lebih direncanakan dengan
hati-hati mengundang siswa untuk melakukan beberapa kegiatan atau kalau ini
mungkin semua kegiatan.
6. Pictorial Riddle Inquiry
Model ini merupakan metode mengarang
yang dapat mengembangkan motivasi dan minat siswa dalam diskusi kelompok kecil
atau besar. Gambar, peragaan, atau situasi sesungguhnya dapat digunakan untuk
meningkatkan cara bertikir kritis dan kreatif para siswa. Biasanya, suatu
riddle berupa gambar dipapan tulis, poster, atau diproyeksikan dari suatu
transparansi, kemudian guru mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan riddle
itu.
7. Syneclis Lesson Inquiry
Model jenis ini memusatkan
keterlibatan siswa untuk membuat berbagai macam bentuk kiasan, supaya dapat
membaca intelegensinya dan mengembangkan kreatifitasnya. Hal ini dapat
dilaksanakan karena dapat membantu siswa dalam berfikir untuk memandang suatu
problema sehingga dapat menunjang timbulnya ide-ide kreatif.
8. Value Clarifikation
Model pembelajaran jenis inquiry ini siswa yang difokuskan pada
pemberian penjelasan tentang suatu tata aturan nilai-nilai pada suatu
proses-proses pembelajaran.
2.3
Model Pembelajaran Discovery-Inquiry
2.3.1 Pengertian Model Pembelajaran Disscovery-Inquiry
Pembelajaran discovery-inquiry bertolak dari
pandangan bahwa siswa sebagai subyek dan objek dalam belajar, mempunyai
kemampuan dasar untuk berkembang secara optimal sesuai kemampuan yang
dimilikinya. Proses perkembangan harus dipandang sebagai stimulus yang dapat
menantang siswa untuk melakukan kegiatan belajar. Bertolak dari hal tersebut
ada beberapa pendapat mengenai definisi dari pembelajaran Discovery-Inquiry
diantaranya adalah: Sund (1975) dalam Moh. Amien (1979: 5) menyatakan bahwa
”Discovery adalah proses mental dimana individu mengasimilasi konsep dan
prinsip-prinsip”. Sedangkan menurut Roestiyah (2001: 20) Discovery learning ialah
suatu cara mengajar yang melibatkan siswa dalam proses kegiatan mental melaui
tukar pendapat, dengan diskusi, membaca sendiri, dan mencoba sendiri agar
anak belajar sendiri.
Menurut Syaiful Bahri dan Aswan Zain (2002: 22) Inquiry-discoveri
learning adalah belajar mencari dan menemukan sendiri. Berdasarkan
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran discovery-inquiry
adalah suatu kegiatan mental melalui tukar pendapat, dengan diskusi, seminar,
membaca sendiri, mencoba sendiri sehingga menemukan konsep sendiri. Pembelajaran
discovery harus meliputi pengalaman-pengalaman belajar untuk menjamin
siswa dapat mengembangkan proses penemuan. Inquiry dibentuk dan meliputi discovery,
karena siswa harus harus menggunakan kemampuan discovery dan lebih
banyak lagi. Dengan kata lain inquiry adalah suatu proses perluasan
proses-proses discovery yang digunakan dalam cara-cara yang lebih dewasa.
Sebagai tambahan pada proses-proses discovery-inquiry mengandung proses-proses yang lebih
tinggi tingkatannya.
Berdasarkan berbagai definisi pembelajaran discovery-inquiry
di atas dapat penulis
simpulkan bahwa pembelajaran discovery-inquiry merupakan
pembelajaran yang menitik beratkan pada proses pemecahan masalah, sehingga
siswa harus melakukan eksplorasi berbagai informasi agar dapat menentukan
konsep mentalnya sendiri dengan mengikuti petunjuk guru berupa pertanyaan yang
mengarah pada pencapaian tujuan pembelajaran.
Peran guru dalam pembelajaran discovery-inquiry adalah:
pertama, menciptakan suasana yang memberi peluang untuk berpikir bebas dalam
bereksplorasi dalam penemuan dan pemecahan masalah; kedua, sebagai fasilitator
dalam penelitian; ketiga, rekan diskusi dalam pencarian alternatif pemecahan
masalah; dan yang keempat, pembimbing penelitian, pendorong keberanian berfikir
alternatif dalam pemecahan masalah. Sedangkan peranan siswa adalah: pertama,
mengambil prakasa dalam menemukan masalah dan merancang alternatif
pemecahan masalah; ketiga, aktif mencari informasi dan sumber-sumber belajar;
ketiga, menyimpulkan dan analisis data; keempat, melakukan eksplorasi untuk
memecahkan masalah; dan kelima, mencari alternatif masalah bila terjadi kebuntuan.
Pembelajaran discovery-inquiry dalam kegiatan
pembelajaran termasuk pembelajaran modern yang sangat didambakan untuk
dilaksanakan di setiap sekolah. Adanya tuduhan bahwa sekolah menciptakan
kultur bisu tidak akan terjadi apabila pembelajaran discovery-inquiry
digunakan. Pembelajaran discovery-inquiry dapat dilaksanakan
apabila dipenuhi syarat-syarat berikut: a. guru harus terampil memilih
persoalan yang relevan untuk diajukan kepada kelas (personal bersumber dari
bahan pelajaran yang menantang siswa/problematik) dan sesuai dengan daya nalar
siswa; b. guru harus terampil menumbuhkan motivasi belajar siswa dan
menciptakan situasi belajar yang menyenangkan; c. adanya fasilitas dan sumber
belajar yang cukup; d. adanya kebebasan siswa untuk berpendapat, berkarya, dan,
berdiskusi; e. guru tidak ikut campur tangan dan intervensi terhadap kegiatan
siswa.
2.3.2 Tujuan Model Pembelajaran Disscovery-Inquiry
Moh. Amin (Sudirman N, 1992) menguraikan tentang tujuh jenis
inquiry-discovery yang dapat diikuti sebagai berikut :
1) Guided Discovery-Inquiry
Lab. Lesson
Sebagian
perencanaan dibuat oleh guru. Selain itu guru menyediakan kesempatan bimbingan
atau petunjuk yang cukup luas kepada siswa. Dalam hal ini siswa tidak
merumuskan problema, sementara petunjuk yang cukup luas tentang bagaimana
menyusun dan mencatat diberikan oleh guru.
2) Modified Discovery-Inquiry
Guru
hanya memberikan problema saja. Biasanya disediakan pula bahan atau alat-alat
yang diperlukan, kemudian siswa diundang untuk memecahkannya melalui
pengamatan, eksplorasi dan atau melalui prosedur penelitian untuk memperoleh
jawabannya. Pemecahan masalah dilakukan atas inisiatif dan caranya sendiri
secara berkelompok atau perseorangan. Guru berperan sebagai pendorong, nara
sumber, dan memberikan bantuan yang diperlukan untuk menjamin kelancaran proses
belajar siswa.
3) Free Inquiry
Kegiatan
free inquiry dilakukan setelah siswa mempelajarai dan mengerti bagaimana
memecahkan suatu problema dan telah memperoleh pengetahuan cukup tentang bidang
studi tertentu serta telah melakukan modified discovery-inquiry. Dalam
metode ini siswa harus mengidentifikasi dan merumuskan macam problema yang akan
dipelajari atau dipecahkan.
4) Invitation
Into Inquiry
Siswa
dilibatkan dalam proses pemecahan problema sebagaimana cara-cara yang lazim
diikuti scientist. Suatu undangan (invitation) memberikan suatu problema kepada
siswa, dan melalui pertanyaan masalah yang telah direncanakan dengan hati-hati
mengundang siswa untuk melakukan beberapa kegiatan atau kalau mungkin, semua
kegiatan sebagai berikut : merancang eksperimen, merumuskan hipotesis,
menetapkan kontrol, menentukan sebab akibat, menginterpretasi datadan membuat
grafik
5) Inquiry
Role Approach
Inquiry Role Approach merupakan kegiatan proses belajar yang melibatkan siswa
dalam tim-tim yang masing-masing terdiri tas empat anggota untuk memecahkan invitation
into inquiry. Masing-masing anggota tim diberi tugas suatu peranan yang
berbeda-beda sebagai berikut : koodinator tim, penasihat teknis, pencatat data
dan evaluator proses
6) Pictorial
Riddle
Pendekatan
dengan menggunakan pictorial riddle adalah salah satu teknik atau metode
untuk mengembangkan motivasi dan minat siswa di dalam diskusi kelompok kecil
maupun besar. Gambar atau peragaan, peragaan, atau situasi yang sesungguhnya
dapat digunakan untuk meningkatkan cara berfikir kritis dan kreatif siswa.
Suatu ridlle biasanya berupa gambar di papan tulis, papan poster, atau
diproyeksikan dari suatu trasparansi, kemudian guru mengajukan pertanyaan yang
berkaitan dengan ridlle itu.
7) Synectics
Lesson
Pada
dasarnya syntetics memusatkan pada keterlibatan siswa untyuk membuat
berbagai macam bentuk metafora (kiasan) supaya dapat membuka intelegensinya dan
mengembangkan kreativitasnya. Hal ini dapat dilaksankan karena metafora dapat
membantu dalam melepaskan “ikatan struktur mental” yang melekat kuat dalam
memandang suatu problema sehingga dapat menunjang timbulnya ide-ide kreatif.
2.3.3 Sintaks Model Pembelajaran Disscovery-Inquiry
Pembelajaran
yang dilakukan dengan discovery-inquiry adalah pembelajaran
dimana metode-metode tersebut dilakukan tidak lepas dan tetap berpijak pada
langkah-langkah discovery-inquiry. Secara garis besar prosedur
pelaksanaan pembelajaran discovery menurut Syaiful Bahri dan Aswan Zain
(2002:22) adalah sebagai berikut :
1.
Stimulation : guru
mulai bertanya dengan mengajukan persoalan atau menyuruh anak didik membaca
ataupun mendengarkan uraian yang membuat persoalan.
2.
Problem statement :
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi berbagai persoalan.
3.
Data collection :
perngumpulan berbagai informasi yang relevan, membaca literatur, mengamati
obyek, wawancara dengan nara sumber atau melakukan uju coba sendiri dan
lain-lain oleh siswa.
4.
Data prossesing:
pengolahan, pengacakan, pengklasifikasian, pentabulasian bahkan penghitungan
data pada tingkat kepercayaan tertentu.
5.
Verification atau
pembuktian : pembuktian dari hipotesis atau pernyataan yang telah dirumuskan
berdasarkan hasil pengolahan informasi yang telah ada.
6.
Generalization :
berdasarkan hasil verifikasi, siswa menarik kesimpulan atau genaralisasi
tertentu
2.3.4 Kelebihan dan Kekurangan Model
Pembelajaran Disscovery-Inquiry
Setiap model pembelajaran yang digunakan memiliki kelebihan
dan kelemahan masing-masing. Pada pembelajaran discovery-inquiry siswa
dirancang untuk menemukan sendiri konsep ilmu yang akan dipelajari sehingga
diharapkan dari penemuan sendiri suatu konsep oleh siswa selain lebih mudah
dimengerti dan diingat, juga dapat menumbuhkan motivasi intrinsik siswa karena
siswa merasa puas atas hasil dari penemuan mereka. Pembelajaran ini membutuhkan
waktu yang cukup banyak, karena dalam prosesnya siswa dihadapkan pada
permasalahan-permasalahan yang harus dipecahkan dengan cara mengumpulkan data
dan informasi dari berbagai sumber serta melakukan uji coba sendiri. Apabila
selama proses penemuan konsep kurang terbimbing atau kurang terarah, maka akan
terjadi kekacauan dan kekaburan atas konsep yang dipelajari.
Menurut
Jerome Bruner dalam Moh. Amien (1979 : 12) beberapa keuntungan pembelajaran penemuan
adalah: (a) Siswa akan mengerti konsep-konsep dasar dan ide-ide dengan lebih
baik, (b) Membantu dalam menggunakan ingatan dan transfer pada situasi-situasi
dalam proses belajar mengajar yang baru, (c) Mendorong siswa untuk berpikir dan
bekerja atas inisiatifnya sendiri, (d) Mendorong siswa untuk berpikir inklusif
dan merumuskan hipotesisnya sendiri, (e) Memberikan kepuasan yang bersifat
intrinsik, (f) Situasi proses belajar mengajar lebih merangsang. Sedangkan menurut Roestiyah (2002 : 20-21)
model pembelajaran discovery-inquiry memiliki kelebihan dan
kekurangan: Kelebihan model pembelajaran discovery-inquiry yaitu: (1) Mampu
mengembangkan penguasaan ketrampilan untuk berkembang dan maju dengan
menggunakan potensi yang ada pada diri siswa itu sendiri, (2) Mampu
memberikan motivasi belajar, memperkuat, dan menambah kepercayaan pada diri
siswa dengan proses menemukan sendiri. Kekurangan
model pembelajaran discovery-inquiry yaitu: (1) Siswa harus ada kesiapan,
kemampuan, dan keberanian untuk mengetahui keadaan sekitarnya dengan lebih baik,
(2) Bila kelas terlalu besar, maka bentuk ini akan kurang berhasil.
Mengenai kelebihan dan kekurangan metode penemuan/discovery-inquiry
diuraikan juga oleh Sudirman N, dkk (1992) sebagai berikut :
Kelebihan model pembelajaran discovery-inquiry
:
- Strategi pengajaran menjadi
berubah dari yang bersifat penyajian informasi oleh guru kepada siswa
sebagai penerima informasi yang baik tetapi proses mentalnya berkadar
rendah, menjadi pengajaran yang menekankan kepada proses pengolahan
informasi di mana siswa yang aktif mencari dan mengolah sendiri informasi
yang kadar proses mentalnya lebih tinggi atau lebih banyak.
- Siswa akan mengerti
konsep-konsep dasar atau ide lebih baik.
- Membantu siswa dalam
menggunakan ingatan dan dalam rangka transfer kepada siutuasi-situasi
proses belajar yang baru.
- Mendorong siswa untuk berfikur
dan bekerja atas inisiatifnya sendiri.
- Memungkinkan siswa belajar
dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber belajar yang tida hanya
menjadikan guru sebagai satu-satunya sumber belajar.
- Metode ini dapat memperkaya dan
memperdalam materi yang dipelajari sehingga retensinya 9tahan lama dalam
ingatan) menjadi lebih baik.
Kekurangan model pembelajaran discovery-inquiry
:
- Memerlukan perubahan kebiasaan
cara belajar siswa yang menerima informasi dari guru apa adanya, ke arah
membiasakan belajar mandiri dan berkelompok dengan mencari dan mengolah
informasi sendiri. Mengubah kebiasaan bukanlah sesuatu yang mudah, apalagi
kebiasaan yang telah bertahun-tahun dilakukan.
- Guru dituntut mengubah
kebiasaan mengajar yang umumnya sebagai pemberi informasi menjadi
fasilitator, motivator, dan pembimbing siswa dalam belajar. Inipun bukan
pekerjaan yang mudah karena umumnya guru merasa belum puas kalau tidak
banyak menyajikan informasi (ceramah).
- Metode ini memberikan kebebasan
pada siswa dalam belajar, tetapi tidak berarti menjamin bahwa siswa
belajar dengan tekun, penuh aktivitas, dan terarah.
- Cara belajar siswa dalam metode
ini menuntut bimbingan guru yang lebih baik. Dalam kondisi siswa banyak
(kelas besar) dan guru terbatas, agaknya metode ini sulit terlaksana
dengan baik.
2.3.5 Jenis-Jenis Model Pembelajaran
Disscovery-Inquiry
Menurut
Moh. Amien (1979: 15) bahwa pengembangan kemampuan “discovery inquiry” pada
diri siswa melalui pengajaran science dapat dilakukan dengan kegiatan-kegiatan
antara lain:
1. Discovery-Inquiry Terbimbing (Guided Discover-Inquiryy)
Salah satu pengembangan kemampuan discovery-inquiry
pada diri siswa melalui pengajan science dapat dilukiskan dengan kegiatan guided
discovery-inquiry laboratory lesson. Menurut Moh. Amien (1979 : 15) Istilah
guided discovery-inquiry digunakan apabila didalam kegiatan discovery-inquiry
guru menyediakan bimbingan/ prtunjuk yang cukup luas kepada siswa, sebagian
perencanaan dibuat oleh guru. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa guided
discovery-inquiry atau discovery-inquiry tebimbing adalah kegiatan
pembelajaran penemuan, di mana permasalahan/problem diberikan oleh guru.
Siswa tidak merumuskan problema. Petunjuk yang cukup luas
tentang bagaimana menyusun dan mencatat diberikan oleh guru. Menurut Moh. Amien
(1979 : 15-16) Pada umumnya suatu guided discovery lab lesson terdiri dari: (1) Pernyataan problema :
problema untuk masing-masing kegiatan dapat dinyatakan sebagi pertanyaan atau
peryataan biasa, (2) Prinsip atau konsep yang diajarkan : prinsip-prinsip
dan/atau konsep-konsep yang harus ditemukan oleh siswa melalui kegiatan, harus ditulis
dengan jelas dan tepat, (3) Alat/Bahan : alat/bahan harus disediakan sesuai
dengan kebutuhan setiap siswa untuk melakukan kegiatan, (4) Diskusi pengarahan
: berupa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada siswa (kelas) untuk
didiskusikan sebelum para siswa melakukan kegiatan discovery-inquiry, (5)
Kegiatan discovery-inquiry : kegiatan metoda discovery-inquiry
oleh siswa berupa kegiatan percobaan/penyelidikan yang dilakukan oleh siswa
untuk menemukan konsep-konsep dan/atau prinsip-prinsip yang telah ditetapkan
oleh guru, (6) Proses berpikir siswa : proses berpikir kritis dan ilmiah
menunjukkan tentang mental operation: siswa yang diterapkan selama kegiatan
berlangsung, (7) Pertanyaan yang bersifat open-ended : pertanyaan yang bersifat open-ended : harus berupa pertanyaan yang mengarah ke
pengembangan tambahan kegiatan penyelidikan yang dapat dilakukan oleh siswa, (8)
Catatan guru : catatan guru berupa catatan-catatan lain yang meliputi :
penjelasan tentang hal-hal atau bagian-bagian yang sulit dari
kegiatan/pelajaran, isi/materi pelajaran yang relevan dengan kegiatan, faktor-faktor variable yang dapat
mempengaruhi hasi.
2. Discovery-Inquiry Bebas (Free Discuvery-Inquiry)
Discover-inquiryy bebas merupakan suatu kegiatan pembelajaran yang memberi
kebebasan siswa untuk menentukan masalah sendiri, mencari konsep, dan merancang
eksperimen sampai mencari
kesimpulan. Di sini guru hanya sebagai teman belajar apabila diperlukan sebagai
tempat bertanya. Biasanya discovery
bebas tidak berjalan, siswa masih memerlukan bimbingan
3. Discovery-Inquiry Bebas Termodifikasi (Modified
Free Discovery-Inquiry)
Model pembelajaran discovery-inquiry bebas
termodifikasi merupakan suatu kegiatan discovery-inquiry bebas tetapi
dalam penemuan masalahnya diberikan oleh guru. Pada pembelajaran ini guru
memberikan masalah tersebut melalui pengamatan, eksplorasi atau prosedur
penelitian untuk memperoleh jawaban dan siswa harus di dorong untuk memecahkan
masalah dalam kerja kelompok atau perorangan.
4. Inquiry Role Approach (I.R.A)
Menurut Moh. Amien (1979: 21) inquiry role approach
(I.R.A) merupakan kegiatan proses belajar-mengajar yang melibatkan siswa dalam
team-team yang masing-masing terdiri dari 4 anggota untuk memecahkan invitation
into inquiry. Masing-masing anggota
team diberi tugas suatu perananan yang berbeda-beda sebagai berikut: (1) team
coordinator, (2) technical advisor, (3) data recorder, (4) proses evaluator.
Anggota team menggambarkan peranan-peranan di atas, bekerja sama untuk
memecahkan problem-problem yang berkaitan dengan topik yang disetudi. Misalnya:
populasi burung, tingkah laku tikus, anak abnormal, dan sebagainya. Menurut
Moh. Amien (1979: 23) Pembelajaran dengan menggunakan pictorial riddle adalah salah satu teknik/metoda untuk
mengembangkan motivasi dan interest siswa di dalam diskusi kelompok kecil
maupun besar. Gambar peraga atau situasi yang sesunggunya dapat digunakan untuk
meningkatkan cara berpikir kritis dan kreatip siswa. Suatu riddle biasanya berupa gambar di papann tulis dan sebagainya,
kemudian guru mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan riddle.
2.4 Model Pembelajaran Discovery-Inquiry dalam Pembelajaran IPA
Sudah diketahui bersama bahwa, IPA
adalah ilmu mengkaji fenomena alam yang ada di sekitar kita. Kajian IPA
mencakup tiga aspek, yaitu IPA sebagai produk, proses dan sikap ilmiah.
Bagaimana tumbuhan berkembang biak? Ada apa di dalam atom? Bagaimana susunan
tata surya? Bagaimana cara ikan paus berenang? Bagaimana terjadinya fosil?
Bagaimana tanaman di dasar laut berfotosintesis? Pertanyaan-pertanyaan tersebut
baru sekelumit pertanyaan yang telah terjawab oleh ilmuwan.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan contoh dari tiga pertanyaan dasar dalam
IPA, yaitu: What is there, How does it
work? How did it come to be this way? Untuk menjawab bagaimana tumbuhan
dapat melakukan perkembangbiakan? Ada apa di dalam atom? Manusia tidak mungkin
masuk ke dalam atom, kalau begitu bagaimana caranya manusia tahu bahwa di dalam
atom ada elektron dan inti atom? Bagaimana manusia tahu ada 8 planet dalam tata
surya? Bagaimana manusia tahu tentang umur fosil? Bagaimana manusia tahu
karakter ikan paus? Dan bagaimana tumbuhan yang di dasar laut dapat memperoleh
sinar matahari?
Konsep-konsep, prinsip-prinsip,
hukum-hukum dan teori-teori dalam IPA merupakan produk dari serangkaian
aktivitas manusia yang dikenal dengan penyelidikan ilmiah (Scientific Inquiry). “The
scientific process as observation, measurement, experimentation, and the other
operation included in the scientific method” (Sund & Trowbridge, 1973).
Orang yang berkecimpung di dalam IPA akan mendapatkan sikap ilmiah seperti
jujur, cermat, berpikir kritis, rasa ingin tahu, menghormati pendapat orang lain,
dan sebagainya.
Proses untuk menghasilkan
pengetahuan sangat bergantung pada pengamatan teliti terhadap suatu fenomena,
dan teori yang mendasari pengamatan, yang pada gilirannya akan memberi peluang
munculnya teori baru yang dapat menggugurkan teori lama atau diperoleh teori
yang lebih memperkuat teori yang sudah ada, dengan perkataan lain “hukum-hukum
dan teori dalam IPA bukan suatu kebenaran mutlak dan sempurna”. Teori yang
menyatakan matahari sebagai pusat tata surya (Heliosentris) berhasil menggugurkan
teori lama yang menyatakan bumi sebagai pusat tata surya (Geosentris),
sebaliknya teori relativitas yang dikemukakan oleh Einstein tidak
mengesampingkan hukum gerak Newton.
Hakikat IPA adalah IPA sebagai
produk, dan IPA sebagai proses. Secara definisi, IPA sebagai produk adalah
hasil temuan-temuan para ahli saintis, berupa fakta, konsep, prinsip dan
teori-teori. Fakta dalam IPA adalah pernyataan-pernyataan tentang benda-benda
yang benar-benar ada, atau peristiwa yang betul-betul terjadi dan dikonfirmasi
secara objektif. Contohnya atom hidrogen mempunyai satu elektron, merkurius
adalah planet terdekat dengan matahari. Sedangkan konsep IPA adalah suatu ide
yang mempersatukan fakta-fakta. Contohnya semua zat tersusun atas
partikel-partikel, materi akan berubah tingkat wujudnya bila menyerap atau
melepaskan energi. Prinsip IPA adalah generalisasi tentang hubungan antara
konsep-konsep IPA. Contohnya udara yang dipanaskan memuai, adalah prinsip
menghubungkan konsep udara, panas, pemuaian. Artinya udara akan memuai jika
udara tersebut dipanaskan. Teori IPA adalah kerangka yang lebih luas dari
fakta-fakta, konsep-konsep, dan prinsip-prinsip yang saling berhubungan.
Contohnya teori meteorologi membantu para ilmuwan untuk memahami mengapa dan
bagaimana kabut dan awan terbentuk.
Sedangkan IPA sebagai proses adalah
strategi atau cara yang dilakukan para ahli saintis dalam menemukan berbagai
hal tersebut sebagai implikasi adanya temuan-temuan tentang kejadian-kejadian
atau peristiwa-peristiwa alam. Maka dari itu, IPA sebagai produk tidak dapat
dipisahkan dari hakikatnya IPA sebagai proses. Dari sini dapat diketahui kajian
IPA sangat luas, dan IPA mempunyai andil dalam memberikan sumbangan pada
kemajuan peradaban manusia, khususnya perkembangan teknologi suatu bangsa. Banyak
orang yang beranggapan bahwa IPA itu sulit dan membosankan. Selama ini IPA
dianggap pelajaran yang sulit dan menakutkan. Para siswa menganggap bahwa IPA
hanya untuk orang pintar. Untuk mengubah paradigma tersebut, maka perlu upaya
melakukan pembelajaran IPA yang sederhana, mudah dicerna, menarik bagi siswa
dan menyenangkan.
Model pembelajaran discovery-inquiry cocok dipakai dalam pembelajaran IPA, dimana dalam
pengembangan pembelajaran IPA hendaknya disertakan dengan pelakukan penelitian
yang lebih mendalam agar dapat menemukan sebuah konstruksi pengetahuan yang
dapat dipahami oleh siswa. model pembelajaran discovery-inquiry sangat
efektif dipakai untuk pembelajaran IPA dapat dibuktikan dengan hasil penelitian
Dyah dan Ratih (2015) bahwa pembelajaran inquiry
dapat meningkatkan hasil belajar sebesar 71,5% dan pemahaman konsep siswa
terhadap pelajaran IPA (reaksi redoks) sebesar 54%. Dalam penelitian tersebut
guru bertindak sebagai fasilitator yang menerapkan seluruh sintaks pembelajaran
inquiry. Penelitian serupa juga
dilakukan oleh Rumithi (2016) dengan hasil bahwa kelas yang menggunakan model
pembelajaran inquiry dengan nilai
rata-rata prestasi belajar IPA sebesar 68,150, sedangkan kelas dengan model
pembelajaran konvensional dengan nilai rata-rata prestasi belajar IPA sebesar
63,800. Kedua penelitian tersebut membuktikan bahwa penerapan model
pembelajaran inquiry sangat efektif
sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.
Penggunaan model pembelajaran discovery juga sangat efektif dalam
pembelajaran IPA, hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Abdelrahman
(2014) dengan hasil bahwa discovery
berhasil meningkatkan pengetahuan siswa sebesar 3,35%. Hal ini dapat menjadi
acuan untuk merubah metode pengajaran di kelas dengan model pembelajaran discovery. Penelitian serupa juga
dilakukan oleh Basman, Arifin dan Muris (2016) dengan hasil bahwa model
pembelajaran discovery-inquiry dapat meningkatkan prestasi
belajar melebihi 70% dan juga mengurangi terjadinya miskonsepsi dalam
pembelajaran IPA. Untuk itu model pembelajaran discovery-inquiry cocok
dipakai dalam pembelajaran IPA.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan
diatas, maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran discovery-inquiry dalam
pembelajaran IPA adalah sebagai beriku:
1.
Model pembelajaran discovery merupakan sebuah model pembelajaran yang dapat
mengarahkan siswa untuk menemukan sendiri serta mengembangkan pengetahuan IPA
yang diperolehnya.
2.
Model
pembelajaran inquiry adalah sebuah
model pembelajaran yang berorientasi pada penelitian dan pengamatan terhadap
pelajaran IPA.
3.
Model
pembelajaran discovery-inquiry adalah sebuah model pembelajaran
yang merupakan perpaduan antara penelitian atau pengamatan untuk menemukan
sebuah konsep baru dalam pembelajaran IPA.
4.
Dari
hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa model pembelajaran discovery dan inquiry sangat cocok dipakai dalam pembelajaran IPA dengan hasil
yang ditunjukkan oleh terjadinya peningkatan pada prestasi belajar siswa.
3.2
Saran-Saran
Beberapa saran yang
dapat dikemukakan terkait dengan isi makalah model pembelajaran discovery-inquiry dalam pembelajaran IPA adalah:
1. Setiap
guru harus dapat memahami model pembelajaran discovery-inquiry dalam
pembelajaran IPA agar dapat memposisikan dirinya dengan benar sesuai dengan
hakekat pendidikan.
2. Departemen
Pendidikan agar merekrut lulusan teknologi pendidikan yang memahami model
pembelajaran discovery-inquiry, agar dapat mengarahkan
pendidikan dan menyusun sistem pendidikan sesuai dengan hakekatnya.
3. Bagi
para akademisi diharapkan memahami model pembelajaran discovery-inquiry sebagai
sebuah pondasi dalam pengajaran.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdelrahman, K.
2014. The effect of using discovery learning strategy in teaching grammatical
rules to first year general secondary student on developing their achievement
and metacognitive skills. International Journal of Scientific Research.
5(2):146-153. http://www.ijisr.issr-journals.org. Diakses 10
Desember 2016.
Balim, A. G.
2009. The effect of discovery learning on students success and inquiry learning
skills. Eurasian Journal of Educational
Research. 35:1-20. http://www.ejer.com. Diakses 10
Desember 2016.
Basman, T.,
Arifin, A. & Muris, M. 2016. The development of discovery-inquiry learning
model to reduce the science misconception of junior high school students. International Journal of Enviromental &
Science Education. 11 (12):5676-5686. http://www.journalijar.com. Diakses 30 September 2016.
Budianingsih, A.
2005. Belajar dan pembelajaran.
Jakarta. Rineka Cipta.
Dahlia, M., P., & Sondang, R., M. 2016, Pengaruh Model
Pembelajaran Inquiry Training dan Motivasi Terhadap Hasil Belajar Fisika Siswa.
Jurnal Pendidikan Fisika. 5(1):1-6.
http://jurnal.unimed.ac.id. Diakses 18 Desember 2016.
Dalyono. 1996. Psikologi pendidikan. Jakarta. Rineka
Cipta.
Degeng, N. S.
1989. Ilmu pembelajaran : taksonomi
variabel. Jakarta. Dirjen Dikti.
Dyah, A. F.
& Ratih, Y. 2015. Upaya Reduksi miskonsepsi siswa pada konsep reaksi redoks
melalui model guided inquiry di SMA Negeri 1 Sumenep. Jurnal Lentera Sains
Universitas Wiraraja. 5(2):37-46. http://www.ejournal.wiraraja.ac.id. Diakses 10
Desember 2016.
Gormally, C.
2009. Effect of inquiry-based learning of students science literacy skills and
confidance. International Journal of The
Scholarship of Teaching and Learning. 3(2):1-22. http://doi.org/10.20429/ijsotl. Diakses 10 Desember 2016.
Illahi, M. T. 2012. Pembelajaran
discovery strategy & mental vocational skill. Jogjakarta. Diva Press.
Kumara, A. 2004.
Model pembelajaran active learning mata pelajaran sains tingkat SD Kota
Yogyakarta sebagai upaya peningkatan life skills. Jurnal Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
2:63-91. http://www.jurnal.ugm.ac.id. Diakses 11
Juni 2017.
Malik, F. 2001. Pedoman
penyelenggaraan kecakapan hidup (life skills). Jakarta. Theme.
Munandar, A. T., Rita, P., & Khotimah, R. P. 2015.
Penerapan pendekatan scientific dengan model discovery learning untuk
meningkatkan pemahaman konsep dan partisipasi belajar siswa (PTK pada siswa
kelas VII SMP Negeri 2 Masaran semester genap tahun pelajaran 2014/2015. Jurnal Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhamadiah Surakarta. 1-11. Diakses melalui http://www.ums.ac.id. 18 Nopember 2016.
Mulyasa. 2008. Menjadi
guru Professional Menciptakan Pembelajaran Kreatif Dan Menyenangkan.
Bandung: Remaja Rosda Karya.
Nur, I., Yusuf,
S. 2016. Kompetensi pedagogik untuk
peningkatan dan penilaian kinerja guru dalam rangka implementasi kurikulum
nasional. Sidoarjo. Genta Group Production
Oghenevwade, O.
E. 2010. Effect of discovery and inquiry approaches in teaching and learning of
biology on secondary school students performance in Delta State Nigeria. Journal of Research in Education and Society.
1(1):30-39. http://www.nigeria-education.org. Diakses 11
Juni 2017.
Rumithi, M.
2016. Pengaruh model pembelajaran inkuiri terbimbing dan motivasi berprestasi
terhadap prestasi belajar biologi siswa kelas X SMA Negeri 1 Rendang. Tesis. Program Studi Teknologi
Pembelajaran Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha.
Rusman. 2016. Model model pembelajaran mengembangkan
profesionalisme guru. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.
Santyasa, W.
2017. Pembelajaran inovatif. Singaraja.
Undiksha Press.
Simarmata, U.
2008. Penerapan model konstruktivis dalam pembelajaran fisika di SMU dalam
upaya menanggulangi miskonsepsi siswa. Jurnal
Universitas Negeri Medan. http://www.jurnal.usu.ac.id. Diakses 18
Desember 2016.
Suastra, I. W.
2009. Pembelajaran sains terkini mendekatkan
siswa dengan lingkungan alamiah dan sosial budayanya. Singaraja.
Universitas Pendidikan Ganesha.
Suherman. 2001.
Keunggulan metode discovery. Artikel,
Blog Edukasi. Terdapat pada :
http://herdy07.wordpress.com/2010/05/27/metode-pembelajaran- discovery-penemuan.
Diakses 17 Desember 2016.
Sukmadinata, S.
2001. Metode penelitian pendidikan.
Bandung. Remaja Rosdakarya.
Sund, R. B.,
& Trowbridge,
L. 1973. Teaching science by inquiry in
the schondary school. Ohio. Charles E Merril Publishing Co.
Syaiful, B., & Aswan, Z. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta. Rineka Cipta.
Takdir. 2012. Pembelajaran discovery strategy dan mental
vocational skill. Jogjakarta. Diva Press.
Trianto. 2007. Model-model
Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta : Prestasi
Pustaka.
Trisna, D. 2015. Komparasi model pembelajaran inquiri
terbimbing dalam group investigation (GI) untuk meningkatkan motivasi belajar
dan prestasi belajar Biologi siswa kelas X di SMA Negeri 1 Susut Bangli. Tesis. Singaraja:Program Pascasarjana
Universitas Pendidikan Ganesha.
Wartono. 2004. Terintegrasi IPA (buku 4). Materi Pelatihan.
Proyek PSPP Depdiknas. Jakarta
Wagiran. 2007. Meningkatkan keaktifan mahasiswa dan reduksi
miskonsepsi melalui pendekatan problem based learning. Jurnal Kependidikan I(37). 1-22. Universitas Negeri Yogyakarta.