Rangkuman jurnal: Pengaruh model pembelajaran inquiry training dan motivasi terhadap hasil belajar fisika siswa



Dahlia, M. P., Sondang, R. M. 2016. Pengaruh model pembelajaran inquiry training dan motivasi terhadap hasil belajar fisika siswa. Jurnal Pendidikan Fisika. 5(1): 1-6. http://jurnal.unimed.ac.id. Diakses 18 Desember 2016.
 


               Fisika merupakan pelajaran yang dianggap sulit dan membosankan oleh siswa, karena pelajaran fisika bersifat abstrak dan harus diserap dalam waktu yang singkat, hal tersebut menyebabkan banyak siswa mengalami kegagalan dalam belajar. Metode pengajaran yang dilakukan oleh guru masih terpusat pada guru, dimana siswa cenderung disarankan untuk menghafal rumus daripada pemahaman konsep fisika yang benar.
               Untuk mengatasi masalah tersebut maka diujikan penggunaan sebuah model pembelajaran inquiry training. Jenis penelitian ini adalah quasi eksperimen, dengan populasi sebanyak 3 kelas, kemudian teknik pengambilan sample dengan cluster rundom sampling, dan didapatkan kelas X-2 sebagai kelas eksperimen, dan kelas X-4 sebagai kelas kontrol. Desain penelitian digunakan anava 2X2, dengan variabel bebas yaitu model pembelajaran inquiry training, motivasi sebagai variabel moderator dan hasil belajar sebagai variabel terikat. Dari hasil penelitian tersebut maka didapatkan hasil berupa terdapat perbedaan hasil belajar fisika antara kelas eksperimen dan kelas kontrol dimana hasil belajar kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol, serta siswa yang memiliki motivasi yang tinggi mencapai hasil belajar yang baik daripada siswa yang memiliki motivasi yang rendah, serta terdapat interaksi antara model pembelajaran dan motivasi siswa terhadap hasil belajar siswa.
               Model pembelajaran inquiry telah terbukti sangat efektif meningkatkan hasil belajar siswa, dan cukup strategis diteliti dalam pelajaran fisika kelas X SMA.

MODEL DISCOVERY-INQUIRY DALAM PEMBELAJARAN IPA



MODEL DISCOVERY-INQUIRY
DALAM PEMBELAJARAN IPA
 

Arya, S. 2016. Model discovery-inquiry dalam pembelajaran IPA. Makalah. Pembelajaran Inovatif. 
             Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan merupakan alat pencetak sumber daya manusia yang unggul, untuk itu di sekolah disajikan berbagai jenis materi yang dapat mengembangkan daya kognitif siswa untuk mencari jati diri yang sebenarnya. Pengembangan pendidikan di sekolah dilakukan oleh guru dengan manajemen sekolah yang mengarahkan peserta didik dalam pembentukan karakter yang sesuai dengan tujuan pendidikan Nasional. Dalam rangka pembaruan sistem pendidikan nasional telah ditetapkan visi, misi dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Visi pendidikan nasional adalah terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga Negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan produktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah (Rusman, 2016:2).
Terkait dengan visi tersebut telah ditetapkan serangkaian prinsip penyelenggaraan pendidikan untuk dijadikan landasan dalam pelaksanaan reformasi pendidikan. Salah satu prinsip tersebut adalah pendidikan diselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik berlangsung sepanjang hayat. Dalam proses tersebut diperlukan guru yang memberikan keteladanan, membangun kemauan, serta mengembangkan potensi dan kretivitas peserta didik. Implikasi dari prinsip ini adalah pergeseran paradigma proses pendidikan, yaitu dari paradigm pengajaran ke paradigm pembelajaran. Pembelajaran berarti upaya membelajarkan siswa (Degeng, 1989), yaitu  proses interaksi peserta didik dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
Sesuai dengan amanat Peraturan pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang standar nasional Pendidikan, salah satu standar yang harus dikembangkan adalah standar proses. Standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan untuk mencapai kompetensi lulusan. Standar proses berisi kriteria minimal proses pembelajaran pada satuan pendidikan dasar dan menengah di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Standar proses ini berlaku untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah pada jalur formal, baik pada sistem paket maupun pada sistem kredit semester. Standar proses meliputi perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien.
Belajar merupakan proses perkembangan kearah yang lebih sempurna. Perkembangan tersebut analog dengan perkembangan tumbuhan. Batang tumbuhan akan tumbuh secara sempurna jika tidak ada tumbuhan lain yang menghalangi pertumbuhannya, namun jika ada tumbuhan lain yang menghalangi pertumbuhan tumbuhan tersebut, maka pertumbuhan batang menjadi tidak sempurna. Tumbuhan yang tumbuh akan menuju kearah sumber cahaya, dan tumbuhan akan mengarahkan batangnya untuk menuju sumber cahaya yaitu matahari (Santyasa, 2017). Begitu juga dengan proses pendidikan seorang anak, sebaiknya berkembang sesuai dengan proses dan usianya, namun sebagian besar orang tua menginginkan kognitif anaknya untuk segera tumbuh tanpa memperhatikan usianya, keinginan yang seperti itu menjadi faktor penghalang bagi anak untuk mencapai pertumbuhan kognitif yang optimal dan alamiah.
Setiap individu akan berbeda dalam cara mereka belajar (proses) dan berbeda pula mengenai apa yang dipelajari (hasil). (Santyasa, 2017). Pandangan terhadap sebuah proses pembelajaran anak menjadi perhatian para pakar pendidikan. Dalam perspektif empiris menekankan bagaimana proses pembelajaran yang menekankan pada pengalaman yang dialami oleh pebelajar, sedangkan dari perspektif rasionalis menekankan proses pembelajaran ditekankan pada proses berfikir seorang pebelajar. Kedua perspektif tersebut merujuk kepada bagaimana seorang pebelajar dapat melakukan konstruksi pada dirinya sendiri sehingga maksud dari pengetahuan yang diajarkan dapat diterima.
Paradigma pendidikan zaman sekarang banyak sekali kita melihat sekolah-sekolah dengan mutu pendidikan yang sangat rendah. Penilaian tersebut terlihat dari pencapaian prestasi belajar yang diraih oleh siswa pada suatu sekolah. Siswa yang dapat meraih nilai yang baik dalam ujian nasional secara tidak langsung akan mengangkat nama baik sekolah tempat mereka belajar. Sekolah dengan hasil UN terbaik akan menjadi favorit di masyarakat, dan masyarakat berbondong-bondong untuk menyekolahkan anak mereka pada sekolah tersebut. disisi lain ada juga sekolah yang belum mencapai pencapaian yang maksimal pada nilai UN siswa, hal tersebut karena kurang maksimalnya sistem pendidikan yang diterapkan pada sekolah tersebut. Menurut Kadim Masykur di Simarmata (2008), konsep kesalahan dalam bidang Ilmu telah terjadi di mana-mana dan terjadi pada tingkat pendidikan yang rendah untuk pendidikan tinggi. Rendahnya pemahaman siswa dalam memahami suatu pelajaran ditunjukkan oleh prestasi belajar siswa yang tidak sesuai dengan harapan.
Penggunaan metode ceramah dengan instrument pembelajaran berupa buku dan LKS dirasa kurang memberi pemahaman bagi siswa, siswa mengalami kesulitan dalam memahami materi yang diajarkan oleh guru. Dengan metode ceramah informasi cenderung hanya dihafal tanpa adanya proses berfikir (Rumithi, 2016). Siswa harus mengikuti cara belajar yang dipilih oleh guru dan patuh mempelajari urutan yang ditugaskan oleh guru. Siswa kurang untuk mendapatkan kesempatan untuk terlibat secara aktif. Pembelajaran umumnya hanya berorientasi demikian, hasil pembelajaran terjadi hanya transfer informasi dari guru kepada siswa. Belajar yang hanya menghafal konsep, teori atau formula, sehingga tidak memberikan pemahaman yang mendalam tentang konsep-konsep yang dipelajari. (Basman, Arifin, & Muris, 2016).
Pembelajaran dengan motode tradisional juga dipandang belum maksimal, seperti dalam penelitian yang dilakukan oleh Ogenevwade (2010), bahwa siswa belum mampu mengimplementasikan pengetahuannya terhadap lingkungan, sehingga menjadi kekhawatiran bagi pemerintah sumber daya alam menjadi rusak akibat generasi muda. Saat memasuki abad ke-21 dan mengharapkan kesehatan yang lebih baik untuk seluruh masyarakat, ketersediaan sumber makanan yang sehat, pengetahuan manusia yang mumpuni, hewan dan tanaman yang lebih baik dan lingkungan yang bersih dari zat oksida dan zat radioaktif sulfur, sehingga ada kebutuhan untuk secara efektif merubah paradigm pembelajaran agar nantinya siswa dapat menjaga lingkungan dengan baik. (Ogenevwade, 2010)
Upaya reformasi kurikuler saat ini di seluruh dunia telah kembali berfokus pada perlunya mengajar siswa untuk membuat keputusan yang tepat dan seimbang tentang bagaimana IPA mempengaruhi kehidupan mereka dan menggunakan pengetahuan ilmiah untuk memecahkan masalah. (Gormally, 2009) Kurangnya pengembangan kurikuler di sekolah juga menjadi titik tumpu dari terpuruknya pembelajaran di setiap sekolah, siswa lebih cenderung belajar dalam ruangan kelas tanpa melakukan praktikum di lapangan atau laboraturium. Dengan metode pembelajaran semacam ini kemampuan siswa dalam mengembangkan materi tidak maksimal. Guru sebagai pembimbing dan mengembangkan kemampuan berfikir siswa hendaknya dapat merangsang kognitif siswa agar berkembang dengan melakukan pembelajaran yang berorientasi pada praktikum. (Gormally, 2009)
Pembelajaran siswa diluar kelas berbasis praktikum dipandang lebih efektif untuk memahami IPA secara benar, seperti yang dikemukakan oleh Balim (2009) dalam penelitiannya, mengajar siswa dengan gagasan untuk menemukan, berpikir kritis, mempertanyakan, dan keterampilan memecahkan masalah adalah salah satu prinsip utama pengajaran IPA dan teknologi. Dengan demikian, kurikulum pengajaran IPA dan teknologi seharusnya dikembangkan untuk mendidik siswa melek-IPA yang dapat menanyakan dan memecahkan masalah yang mereka hadapi. Pengajaran yang menggunakan pendekatan lingkungan akan lebih menguntungkan terhadap siswa dan pemerintah, pada satu sisi siswa lebih dapat mengembangkan pengetahuannya dibidang IPA, dan pada sisi yang lain pemerintah merasa dibantu, karena siswa akan lebih terlatih untuk menjaga lingkungannya sendiri.
Dengan permasalahan tersebut, maka pembelajaran di sekolah harus mengalami perubahan dari paradigm tradisional menjadi paradigma modern. Dalam pembelajaran IPA pada tingkat sekolah dasar dan SMP lebih cocok jika dikembangkan dengan model pembelajaran discovery dan inquiry. Discovery adalah metode yang memberi kesempatan pada peserta didik untuk menemukan fakta, konsep, dan prinsip ilmiah untuk diri mereka sendiri daripada diberi tahu. Ini memberi peserta didik kesempatan untuk menemukan dan belajar IPA dari partisipasi mereka sendiri. (Ogenevwade, 2010) Dengan pembelajaran discovery siswa dituntut untuk lebih kretif untuk mengembangkan dan menemukan inti dari sebuah materi.
Menurut Munandar (2012), pengertian kreativitas terbagi dalam tiga kelompok yaitu: (a) kreativitas sebagai gaya hidup, siswa akan dihadapkan pada rangsangan yang membuatnya bergerak melakukan sesuatu, sehingga ketika ia bergerak, ia akan mengembangkan suasana kreatif dalam dirinya, (b) kreativitas sebagai karya tersendiri, pembelajaran discovery menuntut adanya hasil karya melalui pengkajian konsep atau teori pembelajaran, (c) kreativitas sebagai proses intelektual, kemampuan untuk menghasilkan kreativitas memiliki dampak yang sangat besar bagi kemampuan berfikir siswa. Kemampuan berfikir kreatif dan inovatif, secara tidak langsung telah menggunakan proses intelektual mereka untuk pertimbangan yang sangat matang. Model discovery learning menyediakan pengalaman langsung sesuai dengan strategi pembelajaran yang ditawarkan. Model ini melibatkan langsung mental dan fisik untuk memperoleh hasil dari sesuatu kesimpulan permasalahan yang sedang diperbincangkan.
Selain dengan metode discovery, model pembelajaran inquiry juga memberikan pengaruh besar terhadap keberhasilan pembelajaran IPA. Pendekatan Inquiry adalah strategi pengajaran yang mencoba untuk membantu peserta didik mengajukan pertanyaan dan menemukan jawaban atas pertanyaan mereka. Metode inquiry memungkinkan untuk mengamati suatu kejadian, mengenali pertanyaan yang relevan dan tidak relevan, mencari data dan bertanggung jawab sepenuhnya untuk keseluruhan proses yang diperoleh, mengatur dan menafsirkan data. (Ogenevwade, 2010) Joyce (2009) dalam Dahlia dan Sondang (2016) menyatakan bahwa model pembelajaran inquiry dirancang untuk membawa siswa secara langsung kedalam proses ilmiah melalui latihan-latihan yang dapat memadatkan proses ilmiah tersebut kedalam periode waktu yang singkat, dengan tujuan membantu siswa untuk mengembangkan disiplin dan mengembangkan keterampilan intelektual yang diperlukan untuk mengajukan pertanyaan dan menemukan jawaban berdasarkan rasa ingin tahu.
Dalam proses pembelajaran IPA penggunaan model pembelajaran discovery dapat digabungkan dengan model pembelajaran inquiry menjadi model pembelajaran discovery-inquiry. Tuntutan melakukan perubahan model pembelajaran terhadap pembelajaran IPA sangat diperlukan, karena materi IPA tidak dapat begitu saja di pahami hanya dengan mendengarkan tanpa melakukan praktek. Selain itu tuntutan zaman akan pemahaman materi IPA juga sangat diperlukan, hal ini sejalan dengan pendapat Youl (dalam Kumara, 2004) bahwa persaingan sains dimasa depan sebenarnya tidak dilihat dari berapa besar penguasaan sains di suatu Negara, tetapi justru terlihat dalam usaha mempersiapkan anak-anak dalam melak sains sejak awal.
Pendidikan sains diajarkan untuk mencari tahu dan berbuat sehingga dapat membantu siswa untuk lebih memahami tentang alam sekitar. (Kumara, 2004) Peran siswa yang semula pasif menerima informasi dari gurunya harus diubah menjadi lebih aktif dalam belajarnya. Siswa harus dilibatkan dalam pengelolaan belajarnya di samping melatih kemandirian siswa juga menjadikan siswa itu menjadi lebih bertanggung jawab terhadap belajarnya sendiri. Dalam hal ini perlu diterapkan suatu model pembelajaran yang dapat mendorong siswa agar aktif dan terlibat dalam setiap kegiatan pembelajaran sehingga mampu meningkatkan kemandirian belajar dan prestasi belajar IPA siswa.
Model pembelajaran merupakan cara yang digunakan oleh seorang guru untuk menunjang proses belajar siswa dengan pola dan kegiatan bertahap (Trianto, 2007). Salah satu model yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemandirain dan prestasi belajar IPA yaitu penerapan model pembelajaran discovery-inquiry. Dalam makalah ini disajikan model pembelajaran discovery-inquiry secara lengkap sebagai bahan acuan bagi pembelajaran IPA.

1.2  Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang diatas, maka dapat ditarik beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa model pembelajaran discovery?
2.      Apa model pembelajaran inquiry?
3.      Apa model pembelajaran discovery inquiry?

1.3  Tujuan
Berdasarkan pada rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.      Menjelaskan model pembelajaran discovery.
2.      Menjelaskan model pembelajaran inquiry.
3.      Menjelaskan model pembelajaran discovery-inquiry.

1.4  Manfaat
Adapun manfaat yang dapat dipetik melalui pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1)      Manfaat Teoretis
a)      Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengambil kebijakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan dunia pendidikan.
b)      Sebagai pengembangan dan rangkuman ilmu yang menjadi sumbangan bagi ilmu pengetahuan, dan khususnya bagi pendidikan, untuk memperkaya studi tentang model pembelajaran discovery-inquiry.
c)      Sebagai khasanah pengetahuan bagi pembaca dan bahan referensi bagi disiplin ilmu yang terkait.

2)      Manfaat praktis
a)      Dapat menjadi acuan bagi guru-guru dalam memahami pendidikan dan pembelajaran.
b)      Manfaat lain dalam pembuatan makalah ini adalah memberikan pengetahuan kepada mahasiswa jurusan teknologi pembelajaran mengenai model pembelajaran discovery-inquiry.
c)      Bagi masyarakat umum agar memahami pemanfaatan model pembelajaran discovery-inquiry dalam pembelajaran.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Model Pembelajaran Discovery
2.1.1 Pengertian
Pengertian Model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan adalah teori  belajar yang didefinisikan  sebagai proses pembelajaran yang  terjadi  apabila  materi pembelajaran  tidak  disajikan  dengan    dalam  bentuk finalnya,  tetapi  diharapkan  peserta didik itu sendiri yang mengorganisasi  sendiri.  Hal ini sejalan dengan pendapat  Bruner, bahwa:  “Discovery  Learning  can  be  defined  as  the  learning  that  takes  place  when  the student  is  not  presented  with  subject  matter  in  the  final  form,  but  rather  is  required  to organize  it  him  self”  (Lefancois  dalam  Emetembun,  1986:103). Dasar pemikiran Bruner tersebut adalah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan aktif dalam belajar di kelas. Bruner memakai metode yang disebutnya discovery learning, dimana murid mengorganisasi bahan yang dipelajari dengan satu bentuk akhir (Dalyono, 1996:41). Sedangkan menurut Budiningsih, (2005:43) pengertian model pembelajaran discovery learning atau penemuan diartikan pula sebagai cara belajar memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan.
Discovery terjadi bila individu terlibat, terutama dalam penggunaan proses mentalnya untuk menemukan beberapa konsep dan prinsip. Discovery dilakukan melalui observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi, penentuan dan inferi. Proses tersebut oleh Robert B. Sund (dalam Malik, 2001:219) disebut cognitive process, sedangkan discovery itu sendiri adalah the mental process of assimilating conceps and principles in the mind. Model pembelajaran discovery learning atau penemuan merupakan salah satu model pembelajaran yang menuntut siswa aktif. Sebagai strategi belajar, model pembelajaran discovery learning mempunyai prinsip yang sama dengan inquiry (inquiry) dan problem solving. Tidak ada perbedaan yang prinsipil pada ketiga istilah ini, namun pada discoverl learning lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak diketahui. Perbedaan discovery learning dengan inquiry learning ialah bahwa pada discovery masalah yang dihadapi siswa atau peserta didik adalah semacam masalah yang direkayasa oleh guru, sedangkan pada inquiry learning masalahnya bukan hasil rekayasa, sehingga siswa harus mengarahkan seluruh fikiran dan keterampilannya untuk mendapatkan temuan-temuan di dalam masalah itu melalui proses penelitian. Sedangkan perbedaan discovery learning dengan problem solving lebih member tekanan pada kemampuan menyelesaikan masalah.
Prinsip belajar yang Nampak jelas dalam discovery learning adalah materi atau bahan pelajaran yang akan disampaikan tidak disampaikan dalam bentuk final akan tetapi siswa sebagai peserta didik didorong untuk mengidentifikasi apa yang ingin diketahui dilanjutkan dengan mencari informasi sendiri kemudian mengorganisasi atau membentuk (konstruktif) apa yang mereka ketahui dan mereka pahami suatu bentuk akhir. Dengan mengaplikasikan metode discovery learning secara berulang-ulang dapat meningkatkan kemampuan penemuan diri individu yang bersangkutan. Penggunaan metode atau model discovery learning, ingin merubah kondisi belajar yang pasif menjadi aktif dan kreatif. Mengubah pembelajaran yang teacher oriented ke student oriented. Mengubah modus discovery siswa menemukan informasi sendiri.
2.1.2 Konsep
Dalam konsep belajar, sesungguhnya metode discovery learning merupakan pembentukan kategori-kategori atau konsep-konsep, yang dapat memungkinkan terjadinya generalisasi. Sebagaimana teori Bruner tentang kategorisasi yang Nampak dalam model pembelajaran discovery, bahwa discovery adalah pembentukan kategori-kategori, atau lebih sering disebut sistem-sistem coding. Pembentukan kategori-kategori dan sistem-sistem coding dirumuskan demikian dalam arti relasi-relasi (similaritas & difference) yang terjadi diantara obyek-obyek dan kejadian-kejadian (events).
Bruner memandang bahwa suatu konsep atau kategorisasi memiliki lima unsur, dan siswa dikatakan memahami suatu konsep apabila mengetahui semua unsure dari konsep itu, meliputi: (1) nama, (2) contoh-contoh baik yang positif maupun yang negative, (3) karakteristik, baik yang pokok maupun tidak, (4) rentangan karakteristik, (5) kaidah (Budiningsih, 2005:43). Bruner menjelaskan bahwa pembentukan konsep merupakan dua kegiatan mengkatagori yang berbeda yang menuntut proses berfikir yang berbeda pula. Seluruh kegiatan mengkatagori meliputi mengidentifikasi dan menempatkan contoh-contoh (obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa) kedalam kelas dengan menggunakan dasar kriteria tertentu. Didalam proses belajar, Bruner mementingkan pertisipasi aktif dari tiap siswa, dan mengenal dengan baik adanya perbedaan kemempuan. Untuk menunjang proses belajar perlu lingkungan memfasilitasi rasa ingin tahu siswa pada tahap eksplorasi. Lingkungan ini dinamakan discovery learning environment, yaitu lingkungan dimana siswa dapat melakukan eksplorasi, penemuan-penemuan baru yang belum dikenal atau pemahaman yang mirip dengan yang sudah diketahui. Lingkungan seperti ini bertujuan agar siswa dalam proses belajar dapat berjalan dengan baik dan kreatif.
Untuk memfasilitasi proses belajar yang baik dan kreatif harus berdasarkan pada manipulasi bahan pelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa. Manipulasi bahan pelajaran bertujuan untuk memfasilitasi kemampuan siswa dalam berfikir (merepresentasikan apa yang dipahami) sesuai dengan tingkat perkembangannya. Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh bagaimana cara lingkungan, yaitu: enactive, iconic, dan symbolic. Tahap enactive, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya untuk memahami lingkungan sekitarnya, artinya dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik, misalnya melalui gigitan, sentuhan, pegangan, dan sebagainya. Tahap iconic, seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi). Tahap symbolic, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuan dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui simbil-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya.
Komunikasi dilakukan dengan menggunakan banyak simbol. Semakin matang seseorang dalam proses berfikirnya, semakin dominan sistem simbolnya. Secara sederhana teori perkembangan dalam fase enactive, iconic dan symbolic adalah anak menjelaskan sesuatu melalui perbuatan (ia bergeser ke depan atau kebelakang di papan mainan untuk menyesuaikan beratnya dengan berat temannya bermain) ini fase enactive. Kemudian pada fase iconic ia menjelaskan keseimbangan pada gambar atau bagian dan akhirnya ia menggunakan bahasa untuk menjelaskan prinsip keseimbangan ini fase symbolic (Sukmadinata, 2001:85).
Dalam mengaplikasikan model pembelajaran discovery learning atau penemuan guru berperan sebagai pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara aktif, sebagaimana pendapat guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan (Sardiman, 2005:145). Kondisi seperti ini ingin merubah kegiatan belajar mengajar yang teacher oriented menjadi student oriented. Hal yang menarik dalam pendapat Bruner yang menyebutkan: hendaknya guru harus memberikan kesempatan muridnya untuk menjadi seorang problem solver, seorang scientis, historin, atau ahli matematika. Dalam metode discovery learning bahan ajar tidak disajikan dalam bentuk akhir, siswa dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi, membandingkan, mengkatagorikan, menganalisis, mengintegrasikan bahan serta membuat kesimpulan-kesimpilan. Hal tersebut memungkinkan murid-murid menemukan arti bagi diri mereka sendiri, dan memungkinkan mereka untuk mempelajari konsep-konsep di dalam bahasa yang dimengerti mereka. Dengan demikian seorang guru dalam aplikasi metode diecovery learning harus dapat menempatkan siswa pada kesempatan dalam belajar yang lebih mandiri. Bruner mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya (Budiningsih, 2005:41).
Karakteristik yang paling jelas mengenai discovery sebagai metode mengajar ialah bahwa sesudah tingkat inisial (pemulaan) mengajar, bimbingan guru hendaknya lebih berkurang daripada metode mengajar lainnya. Hal ini tak berarti bahwa guru menghentikan untuk memberikan suatu bimbingan setelah problema disajikan kepada siswa. Tetapi bimbingan yang diberikan tidak hanya dikurangi diraktifnya melainkan siswa diberi responsibilitas yang lebih besar untuk belajar sendiri. Berdasarkan uraian diatas, pengertian model pembelajaran discovery learning atau penemuan adalah pembelajaran untuk menemukan konsep, makna, dan hubungan kausal melalui pengorganisasian pembelajaran yang dilakukan oleh peserta didik.
2.1.3        Tujuan
Menurut Illahi (2012), tujuan discovery learning yang memiliki pengaruh besar bagi siswa adalah sebagai berikut :
1)      Mengembangkan Kreativitas
Menurut Munandar (2012), pengertian kreativitas terbagi dalam tiga kelompok yaitu: (a) kreativitas sebagai gaya hidup, siswa akan dihadapkan pada rangsangan yang membuatnya bergerak melakukan sesuatu, sehingga ketika ia bergerak, ia akan mengembangkan suasana kreatif dalam dirinya, (b) kreativitas sebagai karya tersendiri, pembelajaran discovery menuntut adanya hasil karya melalui pengkajian konsep atau teori pembelajaran, (c) kreativitas sebagai proses intelektual, kemampuan untuk menghasilkan kreativitas memiliki dampak yang sangat besar bagi kemampuan berfikir siswa. Siswa yang berfikir inovatif, secara tidak langsung telah menggunakan proses intelektual mereka untuk pertimbangan yang sangat matang. Ciri-ciri kretif meliputi keterbukaan terhadap pengalaman, penilaian mendalam, kesanggupan berinteraksi dengan bebas, menumbuhkan motivasi dalam belajar. Model discovery learning menyediakan pengalaman langsung sesuai dengan strategi pembelajaran yang ditawarkan. Model ini melibatkan langsung mental dan fisik untuk memperoleh hasil dari sesuatu kesimpulan permasalahan yang sedang diperbincangkan.
2)      Mengembangkan Kemampuan Berfikir Rasional dan Kritis
Berfikir rasional dan kritis adalah perwujudan perilaku yang berkaitan dengan pemecahan masalah (Illahi, 2012). Pada umumnya, siswa yang berfikir secara rasional dan kritis akan menggunakan prinsip dan dasar-dasar dalam menjawab pertanyaan, seperti bagaimana dan mengapa.
3)      Meningkatkan Keaktifan Siswa dalam Proses Pembelajaran
Dengan keterlibatan secara langsung, siswa dituntut untuk memaksimalkan kegiatan belajar dengan penuh keseriusan dan kecermatan, sebab bagaimanapun juga, keaktifan menjadi salah satu modal dalam memahami materi pelajaran yang diberikan oleh guru.

4)      Belajar Memecahkan Masalah
Memecahkan masalah adalah metode belajar yang mengharuskan pelaksanaannya untuk menemukan jawaban tanpa bantuan khusus. Tujuan lain dari model discovery learning adalah belajar memecahkan masalah, tujuan ini mempunyai relevansi dengan kemampuan berfikir solutif siswa dalam memahami suatu konsep atau teori yang membutuhkan analisis dan pengkajian secara substansial. Ketika mereka mampu menggunakan kemampuan berfikir mereka secara solutif, maka secara tidak langsung akan menemukan sesuatu yang baru. Dengan demikian, hal ini akan menghasilkan suatu kesimpulan dari persoalan yang menadi bahan pelajaran.
5)      Mendapatkan Inovasi dalam Proses Pembelajaran
Aplikasi dari model discovery learning menekankan pada keterlibatan siswa secara bebas untuk mengungkapkan pengalaman-pengalaman belajar yang telah dilalui. Hal ini kemudian menadi salah satu pertimbangan bagaimana mengaktualisasikan inovasi baru dalam proses pembelajaran.
2.1.4 Langkah-langkah
Menurut Syah (2004:244) dalam mengaplikasikan Discovery Learning di kelas, ada beberapa prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar secara umum sebagai berikut:
1)      Stimulation (Stimulasi/Pemberian Rangsangan), Pada tahap ini siswa dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan tanda tanya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Disamping itu guru dapat memulai kegiatan PBM dengan mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah.
2)      Problem Statement (Pernyataan/Identifikasi Masalah), Setelah dilakukan stimulasi, langkah selanjutnya adalah guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan masalah), Syah (2004:244).
3)      Data Collection (Pengumpulan Data), Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada para siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis, Syah (2004:244). Pada tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya hipotesis. Dengan demikian siswa diberi kesempatan untuk mengumpulkan (collection) berbagai informasi yang relefan, membaca literatur.
4)      Data Processing (Pengolahan Data), Semua informasi hasil bacaan, diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu. Data processing disebut juga dengan pengkodean/kategorisasi yang berfungsi pada pembentukan konsep dan generalisasi.
5)      Verification (Pembuktian), Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan temuan alternatif, dihubungkan dengan data hasil processing, Syah (2004:244). Verification menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya.
6)      Generalization ( Menarik Kesimpulan/Generalisasi), Tahap generalisasi atau menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan verifikasi, Syah (2004:244). Setelah menarik kesimpulan siswa harus memperhatikan proses generalisasi yang menekankan pentingnya penguasaan pelajaran atas makna dan kaidah atau prinsip-prinsip yang luas yang mendasari pengalaman seseorang, serta pentingnya proses pengaturan dan generalisasi dari pengalaman-pengalaman itu.
2.1.5 Kelebihan
Takdir (2012:70) mengemukakan beberapa kelebihan belajar mengajar dengan discovery, yaitu: (1) Dalam penyampaian bahan discovery, digunakan kegiatan dan pengalaman langsung. Kegiatan dan pengalaman tersebut akan lebih menarik perhatian anak didik dan memungkinkan pembentukan konsep-konsep abstrak yang mempunyai makna: (2) Discovery strategy lebih realistis dan mempunyai makna. Sebab, para anak didik dapat bekerja langsung dengan contoh-contoh nyata: (3) Discovery strategy merupakan suatu model pemecahan masalah. Para anak didik langsung menerapkan prinsip dan langkah awal dalam pemecahan masalah. Melalui strategi ini mereka mempunyai peluang untuk belajar lebih intens dalam memecahkan masalah sehingga dapat berguna dalam menghadapi kehidupan dikemudian hari: (4) Dengan sejumlah transfer secara langsung, maka kegiatan discovery strategy akan lebih mudah diserap oleh anak didik dalam memahami kondisi tertentu yang berkenaan dengan aktivitas pembelajaran: (5) Discovery strategy banyak memberikan kesempatan bagi para peserta didik untuk terlibat langsung dalam kegiatan belajar. 
Beberapa kelebihan metode penemuan juga diungkapkan oleh Suherman, (2001: 179) sebagai berikut: (1) Siswa aktif dalam kegiatan belajar, sebab ia berpikir dan menggunakan kemampuan untuk menemukan hasil akhir: (2) Siswa memahami benar bahan pelajaran, sebab mengalami sendiri proses menemukannya. Sesuatu yang diperoleh dengan cara ini lebih lama diingat: (3) Menemukan sendiri menimbulkan rasa puas. Kepuasan batin ini mendorong ingin melakukan penemuan lagi sehingga minat belajarnya meningkat: (4) Siswa yang memperoleh pengetahuan dengan metode penemuan akan lebih mampu mentransfer pengetahuannya ke berbagai konteks.
2.1.6 Kelemahan
Adapun kelemahan model discovery yang dikemukakan Takdir (2012:70), yaitu: (1) Guru merasa gagal mendeteksi masalah dan adanya kesalahpahaman antara guru dengan siswa: (2) Menyita pekerjaan guru: (3) Tidak semua siswa mampu melakukan penemuan: (4) Tidak berlaku untuk semua topik: (5) Berkenaan dengan waktu, strategi discovery learning membutuhkan waktu yang lebih lama daripada ekspositori: (6) Kemampuan berfikir rasional siswa ada yang masih terbatas: (7) Kesukaran dalam menggunakan faktor subjektivitas, terlalu cepat pada suatu kesimpulan: (8) Faktor kebudayaan atau kebiasaan yang masih menggunakan pola pembelajaran lama: (9) Tidak semua siswa dapat mengikuti pelajara dengan cara ini. Di lapangan beberapasiswa masih terbiasa dan mudah mengerti dengan model ceramah: (10) Tidak semua topik cocok disampaikan dengan model ini. Umumnya topik-topik yang berhubungan dengan prinsip dapat dikembangkan dengan model penemuan.

2.2 Model Pembelajaran Inquiry
2.2.1 Pengertian
Kata inquiry berarti pertanyaan atau penyelidikan (Kuslan & Stone, dalam Trisna 2015) mendefinisikan inquiry sebagai suatu pencarian kebenaran, informasi, atau pengetahuan. Upaya pencarian tersebut dilakukan melalui pertanyaan. Melalui proses inquiry siswa dapat mengkonstruksi pengetahuannya. Inquiry ini lebih menekankan tentang bagaimana kita mengetahui dan mengurangi tentang apa yang kita ketahui. Untuk memperoleh pengetahuan dan memahaminya dalam pendekatan inquiry dapat dilakukan dengan jalan bertanya, observasi, investigasi, analisis, dan evaluasi. Suastra (2009) menyatakan bahwa inquiri dibentuk melalui discovery, karena itu siswa harus menggunakan kemampuan discovery. Dengan kata lain, inquiry adalah suatu perluasan proses-proses discovery yang digunakan dalam cara yang lebih dewasa. Sebagai tambahan dalam proses discovery-inquiry mengandung proses mental yang lebih tinggi tingkatannya, misalnya menerapkan sikap ilmiah dalam melakukan metode ilmiah. Sehingga siswa dapat berkembang kemampuan discovery-inquirinya, hanya apabila ia terlibat dalam kegiatan yang menuntut pelaksanaan tugas mental.
Model pembelajaran inquiry adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analisis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan” (Sanjaya, 2006:194). Menurut piaget (Mulyasa, 2008:108) bahwa model pembelajaran inquiry adalah model pembelajaran yang mempersiapkan siswa pada situasi untuk melakukan eksperimen sendiri secara luas agar melihat apa yang terjadi, ingin melakukan sesuatu, mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dan mencari jawabannya sendiri, serta menghubungkan penemuan yang satu dengan penemuan yang lain, membandingkan apa yang ditemukannya dengan yang ditemukan siswa lain. Dengan melihat kedua pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran inquiry adalah model  pembelajaran yang mempersiapkan siswa pada situasi untuk melakukan eksperimen sendiri sehingga dapat berpikir secara kritis untuk mencari dan menemukan jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan.
2.2.2 Teori yang Mendasari Pembelajaran Inquiry
Model pembelajaran inquiry adalah salah satu cara belajar atau pemecahan suatu masalah yang bersifat mencari pemecahan masalah dengan cara yang kritis, analitis, ilmiah dengan menggunakan langkah-langkah tertentu menuju kesimpulan yang meyakinkan dengan adanya dukungan data. Pembelajaran inquiri berangkat dari asumsi bahwa sejak manusia lahir ke dunia, manusia memiliki dorongan untuk menemukan sendiri pengetahuannya. Rasa ingin tahu tentang keadaan alam disekelilingnya merupakan kodrat manusia sejak lahir ke dunia. Sejak kecil manusia memiliki keinginan untuk mengenal segala sesuatu melalui panca inderanya. Hingga dewasa keingintahuan manusia secara terus menerus berkembang dengan menggunakan otak dan pikirannya.
Pengetahuan yang dimiliki siswa akan bermakna (meaningful) apabila didasari oleh keingintahuan, sehingga dikembangkan model pembelajaran inquiry. Teori belajar Gestalt menjelaskan bahwa perubahan perilaku itu disebabkan karena adanya insting dalam diri siswa, dengan demikian tugas guru adalah menyediakan lingkungan yang dapat memungkinkan setiap siswa biasa menangkap dan mengembangkannya sendiri. Teori Kurt Lewin menyatakan bahwa belajar pada dasarnya adalah proses pengubahan struktur kognitif. Teori ini lebih menekankan pentingnya hadiah dan kesuksesan sebagai faktor yang dapat meningkatkan motivasi belajar setiap individu.
Pembelajaran inquiry merupakan bentuk dari pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada siswa (student centered approach). Dikatakan demikian karena dalam model ini siswa memegang peran yang sangat dominan dalam proses pembelajaran. Makna proses belajar yang berpusat pada siswa (student oriented) adalah guru memiliki peran yang sangat banyak, sehingga mengakomodasi kepentingan siswa sebagai subyek yang belajar sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan yang dimilikinya. Peran guru yang dimaksud adalah sebagai berikut: (1) motivator, member rangsangan agar siswa aktif dan mau berfikir, (2) fasilitator, menunjukkan jalan keluar jika siswa mengalami kesulitan, (3) penanya, menyadarkan siswa dari kekeliruan yang mereka buat, (4) administrator, bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan kelas, (5) pengarah, memimpin kegiatan siswa untuk mencapai tujuan yang diharapkan, (6) manajer, mengelola sumber belajar, waktu dan organisasi kelas, (7) rewarder, member penghargaan pada prestasi yang dicapai siswa.
2.2.3 Sintaks
Inquiry dimulai dengan menimbulkan peristiwa yang membingungkan siswa. Keadaan ini tentunya akan mendorong siswa untuk berusaha menemukan arti fenomena yang dihadapi. Untuk memperoleh pengertian mengenai fenomena yang dihadapi siswa harus mampu menggunakan kekomplekan proses berfikir dan harus terampil menghubungkan data menjadi konsep dan menggunakan konsep-konsep yang diperoleh untuk mengidentifikasi prinsip-prinsip kausal.
Kegiatan inquiry sebenarnya merupakan sebuah siklus belajar yang terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut (Nurhadi & Gerad, dalam Trisna, 2015): (1) merumuskan masalah dalam mata pelajaran apapun, (2) mengumpulkan data melalui observasi: (a) membaca buku atau sumber lain untuk mendapatkan informasi pendukung, (b) mengamati dan mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dari sumber atau obyek yang diamati, (3) menganalisis dan menyajikan hasil dalam bentuk tulisan, gambar, laporan, tabel dan karya lainnya, (4) mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas atau audiens yang lain. Adapun langkah-langkah yang digunakan dalam penyajian materi dengan menggunakan inquiry adalah sebagai berikut: (1) fase berhadapan dengan masalah, (2) fase pengumpulan data pengujian, (3) fase pengumpulan data dan eksperimen, (4) fase formulasi penjelasan, (5) fase analisis proses inquiry.
Trianto (2007) membagi langkah model inquiry ke dalam beberapa tahapan berikut: (1) merumuskan masalah untuk dipecahkan oleh siswa, (2) menetapkan jawaban sementara atau lebih dikenal dengan hipotesis, (3) mencari informasi, data, dan fakta yang diperlukan untuk menjawab hipotesis atau permasalahan, menarik kesimpulan jawaban atau generalisasi, mengaplikasikan kesimpulan.
Dengan melihat langkah-langkah di atas, maka model pembelajaran inquiry akan efektif manakala: (1) Guru mengharapkan siswa dapat menemukan sendiri jawaban dari suatu permasalahan yang ingin dipecahkan. Dengan demikian dalam pembelajaran inquiry penguasan, materi pelajaran bukan sebagai tujuan utama pembelajaran, akan tetapi yang lebih dipentingkan adalah proses belajar, (2) Jika bahan pelajaran yang akan diajarkan tidak berbentuk fakta atau konsep yang sudah jadi, akan tetapi sebuah kesimpulan yang perlu pembuktian, (3) Jika proses pembelajaran berangkat dari rasa ingin tahu siswa terhadap sesuatu, (4) Jika guru akan mengajar pada sekelompok siswa yang rata-rata memiliki kemauan dan kemampuan berpikir. pembelajaran inquiry akan kurang berhasil diterapakan kepada siswa yang kurang memiliki kemampuan untuk berpikir, (5) Jika jumlah siswa yang belajar tak terlalu banyak sehingga bisa dikendalikan oleh guru, (6)  Jika guru memiliki waktu yang cukup untuk menggunakan pendekatan yang berpusat pada siswa.
2.2.4 Keunggulan dan Kelemahan
Model pembelajaran inquiry adalah model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan kognitif siswa. Selain itu, setting pembelajarannya yang memacu siswa untuk selalu bertanya dan berdiskusi memungkinkan siswa berlatih berkomunikasi dengan orang lain sehingga keterampilan bersosialnya juga meningkat. Pemahaman oleh guru mengenai kelebihan-kelebihan dan kelemahan-kelemahan yang mungkin muncul dalam pelaksanaan model pembelajaran inquiry di kelasnya, akan dapat memperbaiki efektifitas model pembelajaran ini. Guru yang berbeda mungkin akan mendapati hasil yang berbeda pula terkait efektivitas model pembelajaran ini. Dengan semakin memahami kelebihan-kelebihan dan kekurangan-kekurangan model pembelajaran inquiry diharapkan guru akan semakin dapat mengantisipasi hal-hal yang perlu sehingga tingkat efektivitas implementasi model pembelajaran ini dapat semakin meningkat.
Adapun keunggulan model pembelajaran inquiry  adalah:
  1. Terjadi peningkatan kemampuan ingatan dan pemahaman terhadap materi pembelajaran oleh siswa, karena pengetahuan atau informasi yang mereka peroleh berdasarkan pengalaman belajar mereka yang otentik ketika mereka (siswa) menemukan sendiri jawaban akan pertanyaan-pertanyaan yang juga mereka ajukan sendiri saat proses pembelajaran. Pemahaman yang mendalam oleh siswa terhadap materi pembelajaran juga membuat mereka lebih mudah mengaplikasikan pengetahuan itu pada situasi yang baru.
  2. Model pembelajaran inquiry meningkatkan keterampilan siswa dalam pemecahan masalah pada situasi-situasi baru dan berbeda yang mungkin mereka dapati pada saat-saat lain (mendatang). Sebagai hasil dari pembelajaran inquiry, siswa-siswa menjadi terlatih dan terbiasa menghadapi permasalahan-permasalahan baru yang ditemui. Mereka juga mempunyai keterampilan-keterampilan khusus untuk memecahkan masalah tersebut.
  3. Model pembelajaran inquiry membantu guru secara simultan meningkatkan motivasi belajar siswa. Dalam model pembelajaran ini, siswa selalu diberikan kesempatan untuk mempelajari informasi-informasi yang mereka minati atau memecahkan masalah-masalah yang mereka formulasikan sendiri lewat pertanyaan-pertanyaan yang diajukan di awal pembelajaran. Secara alamiah motivasi siswa akan terbangun karena apa yang informasi yang dipelajari atau masalah yang sedang dipecahkan merupakan hal-hal yang menarik perhatian dan pemikiran mereka.
  4. Siswa dalam model pembelajaran inquiry akan belajar bagaimana mengatur diri mereka sendiri untuk belajar. Hal ini akan terjadi karena belajar menjadi kebutuhan bagi mereka. Secara bertahap mereka akan belajar bagaimana mengatur diri mereka untuk belajar secara efektif dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dan memecahkan masalah. Proses ilmiah (metode ilmiah) yang menjadi dasar langkah-langkah (sintaks) pembelajaran akan terotomatisasi dalam diri siswa sehingga ketika mereka berhadapan dengan masalah (juga di dunia nyata/kehidupan sehari-hari), maka mereka akan menerapkan keterampilan ini.
  5. Konsep-konsep dasar suatu materi pembelajaran akan dapat diingat dan mengendap dengan baik dalam memori siswa. Konsep-konsep dasar suatu pengetahuan sangat penting bagi perkembangan kognitif siswa sehingga akan memudahkan mereka menyerap informasi lainnya yang berhubungan.
  6. Langkah-langkah model pembelajaran inquiry memungkinkan siswa mempunyai waktu yang cukup untuk mengasimilasi dan mengakomodasi setiap informasi yang relevan yang mereka peroleh, sehingga pengetahuan yang mereka miliki akan semakin mantap, luas dan mendalam.
  7. Model pembelajaran inquiry memberikan dorongan secara tidak langsung kepada siswa untuk bekerja sama, bersikap objektif, jujur, percaya diri, penuh tanggung jawab, berbagi tugas dan sebagainya. Pada intinya, beragam keterampilan akan dikuasai oleh siswa dan secara terus-menerus terasah dalam penerapan model pembelajaran inquiry ini.
  8. Bagi siswa, ketika mereka belajar dengan model pembelajaran inquiry, mereka akan tahu bahwa sumber informasi itu bisa datang dari mana saja, tidak melulu dari guru. Dan ini sangat penting untuk menjadikan mereka sebagai orang-orang yang rajin mencari dan menggunakan informasi dari beragam sumber, memilah-milahnya untuk mengambil yang relevan dengan kebutuhan mereka dan kemudian mengolahnya untuk menjadikannya sebagai pengetahuan bagi diri mereka sendiri.
  9. Bagi guru yang selalu tanpa sadar terjebak dalam pola tradisional (pembelajaran berpusat pada guru, dan pembelajaran dikuasai oleh guru), akan dapat mereduksi kemungkinan ini dan secara berangsur-angsur guru akan bisa menahan diri sehingga siswa tidak melulu memperoleh informasi dari guru saja, tetapi memungkinkan kelas menjadi lebih hidup dan dinamis dengan munculnya diskusi-diskusi di dalam kelompok dan arus pertukaran informasi yang lebih banyak dan bermakna.
  10. Saat diskusi-diskusi atau pertanyaan-pertanyaan dilontarkan oleh siswa kepada guru atau kepada siswa lain di kelas tersebut, maka dengan mudah guru dapat mengambil keuntungan lain, yaitu ia dapat sekaligus mengetahui dan mengecek pemahaman dan penguasaan siswa terhadap suatu materi pembelajaran atau suatu permasalahan.
Sedangkan kelemahan model pembelajaran inquiry antara lain sebagai berikut:
  1. Permasalahan dengan waktu yang dialokasikan. Apabila guru dan siswa belum begitu terbiasa melaksanakan model pembelajaran inkuri, maka ada kemungkinan yang besar waktu tidak dapat dimanajemen dengan baik. Pencarian dan pengumpulan informasi bisa saja akan memakan waktu lama atau bahkan jauh lebih lama dibanding jika guru langsung memberi tahu siswa tentang informasi tersebut. Godaan kepada guru untuk segera memberitahu akan menyebabkan model pembelajaran inquiry yang dilaksanakannya menjadi tidak berfungsi dengan baik. Perlu kesabaran guru untuk menahan diri dari memberi tahu secara langsung. Sebaiknya siswa diberikan kesempatan dan waktu lebih banyak untuk belajar secara mandiri dan memanajemen proses belajar mereka, sehingga mereka semakin terbiasa dan waktu berangsur-angsur tak lagi akan menjadi sebuah masalah besar dalam implementasi model pembelajaran ini.
  2. Pembelajaran inkuri yang dilakukan oleh siswa dapat melenceng arahnya dari tujuan semula karena mereka belum terbiasa melakukannya. Seringkali siswa justru mengumpulkan informasi yang tidak relevan dan tidak begitu penting. Oleh karena itu, peranan guru sebagai fasilitator pembelajaran yang handal sangat diperlukan. Bersama latihan dan pembelajaran yang lebih sering, kendala kehilangan arah ini akan dapat direduksi dengan lebih baik.
  3. Pada akhir suatu pembelajaran yang menerapkan model pembelajaran inkuri, bisa saja setelah segala upaya dan kerja keras yang dilakukan oleh siswa dan kelompoknya ternyata membuahkan hasil yang salah, keliru, kurang lengkap, atau kurang bagus. Ini bisa jadi akan dapat menurunkan motivasi belajar mereka. Oleh karena itu guru perlu hati-hati dan "awas" terhadap apa yang sedang berlangsung di dalam kelompok-kelompok belajar di kelasnya agar setiap pembelajaran yang dilaksanakan memberikan hasil yang memuaskan bagi siswa.
  4. Akan terjadi hambatan dalam pelaksanaan model pembelajaran inquiry ini pada siswa-siswa yang telah terbiasa menerima informasi dari guru. Siswa-siswa yang tidak terbiasa akan ragu-ragu dalam bertindak sehingga seringkali pembelajaran macet di tengah jalan. Kesabaran guru di awal-awal pelaksanaan model pembelajaran ini sangat diperlukan. Ketika siswa mulai terbiasa, keragu-raguan dalam bertindak, mencari informasi, mengolahnya untuk kemudian membuat simpulan berdasarkan versi mereka sendiri akan lebih mudah dan lancar.
  5. Jika jumlah siswa di dalam kelas terlalu banyak, maka guru mungkin akan mengalami kesulitan untuk memfasilitasi proses belajar seluruh siswa. 
  6. Ketika pembelajaran inquiry yang selalu disetting dalam kelompok-kelompok ini berlangsung, biasanya ada beberapa siswa yang kurang aktif dalam kelompoknya. Bagaimana cara guru memotivasi dan membantu mereka untuk dapat besinergi dengan anggota kelompoknya lalu mengambil peranan yang disukainya akan sangat bermanfaat untuk mereduksi keadaan-keadaan seperti ini.
2.2.5 Jenis-Jenis Model Pembelajaran Inquiry
Prinsip kebebasan intelektual dan kerjasama dalam model inquiry menjadi landasan strategis untuk memberdayakan siswa dalam pembelajaran seoptimal mungkin. Beberapa macam model pembelajaran inkuiri diantaranya:
1.      Guide Inquiry
Pembelajaran inkuri terbimbing merupakan suatu model pembelajaran inkuiri yang dalam prosesnya guru menyediakan bimbingan dan petunjuk yang cukup luas kepada siswa. Sebagian besar perencanaanya dibuat oleh guru, siswa tidak merumuskan suatu masalah.
2.      Modified Inquiry
Model pembelajaran tipe ini guru tidak memberikan permasalahan, kemudian siswa ditugasi untuk memecahkan permasalahan tersebut melalui pengamatan, percobaan, atau prosedur penelitian untuk memperoleh jawabannya. Disamping itu guru memperoleh narasumber yang tugasnya hanya memberikan yang diperlukan untuk menghindari kegagalan dalam memecahkan masalah.
3.      Free Inquiry
Model ini harus mengidentifikasi dan merumuskan macam-macam problema yang dipelajari dan dipecahkan. Jenis model ini lebih bebas dari pada yang kedua jenis sebelumnya.
4.      Inquiry Role Approach
Model pembelajaran inkuiri model ini melibatkan dalam tim-tim yang masing-masing terdiri atas empat untuk memecahkan masalah yang diberikan. Masing-masing anggota memegang peranan berbeda, yaitu sebagai koordinator tim, penasehat teknis, pencatat data, dan evaluator proses.
5.      Invitation Into Inquiry
Model inkuiri jenis ini siswa dilibatkan dalam proses pemecahan masalah dengan cara-cara yang lazim ditempuh oleh para ilmuan, suatu undangan (invitation) memberikan suatu problema kepada para siswa dan melalu pertanyaan masalah yang lebih direncanakan dengan hati-hati mengundang siswa untuk melakukan beberapa kegiatan atau kalau ini mungkin semua kegiatan.
6.      Pictorial Riddle Inquiry
Model ini merupakan metode mengarang yang dapat mengembangkan motivasi dan minat siswa dalam diskusi kelompok kecil atau besar. Gambar, peragaan, atau situasi sesungguhnya dapat digunakan untuk meningkatkan cara bertikir kritis dan kreatif para siswa. Biasanya, suatu riddle berupa gambar dipapan tulis, poster, atau diproyeksikan dari suatu transparansi, kemudian guru mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan riddle itu.
7.      Syneclis Lesson Inquiry
Model jenis ini memusatkan keterlibatan siswa untuk membuat berbagai macam bentuk kiasan, supaya dapat membaca intelegensinya dan mengembangkan kreatifitasnya. Hal ini dapat dilaksanakan karena dapat membantu siswa dalam berfikir untuk memandang suatu problema sehingga dapat menunjang timbulnya ide-ide kreatif.
8.      Value Clarifikation
Model pembelajaran jenis inquiry ini siswa yang difokuskan pada
pemberian penjelasan tentang suatu tata aturan nilai-nilai pada suatu proses-proses pembelajaran.

2.3 Model Pembelajaran Discovery-Inquiry
2.3.1 Pengertian Model Pembelajaran Disscovery-Inquiry
Pembelajaran discovery-inquiry bertolak dari pandangan  bahwa siswa sebagai subyek dan objek dalam belajar, mempunyai kemampuan dasar untuk berkembang secara optimal sesuai kemampuan yang dimilikinya. Proses perkembangan harus dipandang sebagai stimulus yang dapat menantang siswa untuk melakukan kegiatan belajar. Bertolak dari hal tersebut ada beberapa pendapat mengenai definisi dari pembelajaran Discovery-Inquiry diantaranya adalah: Sund (1975) dalam Moh. Amien (1979: 5) menyatakan bahwa ”Discovery adalah proses mental dimana individu mengasimilasi konsep dan prinsip-prinsip”. Sedangkan menurut Roestiyah (2001: 20) Discovery learning ialah suatu cara mengajar yang melibatkan siswa dalam proses kegiatan mental melaui tukar pendapat,  dengan diskusi, membaca sendiri, dan mencoba sendiri agar anak belajar sendiri.
Menurut Syaiful Bahri dan Aswan Zain (2002: 22) Inquiry-discoveri learning adalah belajar mencari dan menemukan sendiri. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran discovery-inquiry adalah suatu kegiatan mental melalui tukar pendapat, dengan diskusi, seminar, membaca sendiri, mencoba sendiri sehingga menemukan konsep sendiri. Pembelajaran discovery harus meliputi pengalaman-pengalaman belajar untuk menjamin siswa dapat mengembangkan proses penemuan. Inquiry dibentuk dan meliputi discovery, karena siswa harus harus menggunakan kemampuan discovery dan lebih banyak lagi. Dengan kata lain inquiry adalah suatu proses perluasan proses-proses discovery yang digunakan dalam cara-cara yang lebih dewasa. Sebagai tambahan pada proses-proses discovery-inquiry mengandung proses-proses yang lebih tinggi tingkatannya.
Berdasarkan berbagai definisi pembelajaran discovery-inquiry di atas dapat penulis simpulkan bahwa pembelajaran discovery-inquiry merupakan pembelajaran yang menitik beratkan pada proses pemecahan masalah, sehingga siswa harus melakukan eksplorasi berbagai informasi agar dapat menentukan konsep mentalnya sendiri dengan mengikuti petunjuk guru berupa pertanyaan yang mengarah pada pencapaian tujuan pembelajaran.
Peran guru dalam pembelajaran discovery-inquiry adalah: pertama, menciptakan suasana yang memberi peluang untuk berpikir bebas dalam bereksplorasi dalam penemuan dan pemecahan masalah; kedua, sebagai fasilitator dalam penelitian; ketiga, rekan diskusi dalam pencarian alternatif pemecahan masalah; dan yang keempat, pembimbing penelitian, pendorong keberanian berfikir alternatif dalam pemecahan masalah. Sedangkan peranan siswa adalah: pertama, mengambil prakasa dalam menemukan masalah dan merancang alternatif  pemecahan masalah; ketiga, aktif mencari informasi dan sumber-sumber belajar; ketiga, menyimpulkan dan analisis data; keempat, melakukan eksplorasi untuk memecahkan masalah; dan kelima, mencari alternatif masalah bila terjadi kebuntuan.
Pembelajaran discovery-inquiry dalam kegiatan pembelajaran termasuk pembelajaran modern yang sangat didambakan  untuk dilaksanakan di setiap sekolah. Adanya tuduhan bahwa sekolah menciptakan  kultur bisu tidak akan terjadi apabila pembelajaran discovery-inquiry digunakan. Pembelajaran discovery-inquiry dapat dilaksanakan apabila dipenuhi syarat-syarat berikut: a. guru harus terampil memilih persoalan yang relevan untuk diajukan kepada kelas (personal bersumber dari bahan pelajaran yang menantang siswa/problematik) dan sesuai dengan daya nalar siswa; b. guru harus terampil menumbuhkan motivasi belajar siswa dan menciptakan situasi belajar yang menyenangkan; c. adanya fasilitas dan sumber belajar yang cukup; d. adanya kebebasan siswa untuk berpendapat, berkarya, dan, berdiskusi; e. guru tidak ikut campur tangan dan intervensi terhadap kegiatan siswa.
2.3.2 Tujuan Model Pembelajaran Disscovery-Inquiry
Moh. Amin (Sudirman N, 1992) menguraikan tentang tujuh jenis inquiry-discovery yang dapat diikuti sebagai berikut :
1)      Guided Discovery-Inquiry Lab. Lesson
Sebagian perencanaan dibuat oleh guru. Selain itu guru menyediakan kesempatan bimbingan atau petunjuk yang cukup luas kepada siswa. Dalam hal ini siswa tidak merumuskan problema, sementara petunjuk yang cukup luas tentang bagaimana menyusun dan mencatat diberikan oleh guru.
2)      Modified Discovery-Inquiry
Guru hanya memberikan problema saja. Biasanya disediakan pula bahan atau alat-alat yang diperlukan, kemudian siswa diundang untuk memecahkannya melalui pengamatan, eksplorasi dan atau melalui prosedur penelitian untuk memperoleh jawabannya. Pemecahan masalah dilakukan atas inisiatif dan caranya sendiri secara berkelompok atau perseorangan. Guru berperan sebagai pendorong, nara sumber, dan memberikan bantuan yang diperlukan untuk menjamin kelancaran proses belajar siswa.
3)      Free Inquiry
Kegiatan free inquiry dilakukan setelah siswa mempelajarai dan mengerti bagaimana memecahkan suatu problema dan telah memperoleh pengetahuan cukup tentang bidang studi tertentu serta telah melakukan modified discovery-inquiry. Dalam metode ini siswa harus mengidentifikasi dan merumuskan macam problema yang akan dipelajari atau dipecahkan.
4)      Invitation Into Inquiry
Siswa dilibatkan dalam proses pemecahan problema sebagaimana cara-cara yang lazim diikuti scientist. Suatu undangan (invitation) memberikan suatu problema kepada siswa, dan melalui pertanyaan masalah yang telah direncanakan dengan hati-hati mengundang siswa untuk melakukan beberapa kegiatan atau kalau mungkin, semua kegiatan sebagai berikut : merancang eksperimen, merumuskan hipotesis, menetapkan kontrol, menentukan sebab akibat, menginterpretasi datadan membuat grafik
5)      Inquiry Role Approach
Inquiry Role Approach merupakan kegiatan proses belajar yang melibatkan siswa dalam tim-tim yang masing-masing terdiri tas empat anggota untuk memecahkan invitation into inquiry. Masing-masing anggota tim diberi tugas suatu peranan yang berbeda-beda sebagai berikut : koodinator tim, penasihat teknis, pencatat data dan evaluator proses
6)      Pictorial Riddle
Pendekatan dengan menggunakan pictorial riddle adalah salah satu teknik atau metode untuk mengembangkan motivasi dan minat siswa di dalam diskusi kelompok kecil maupun besar. Gambar atau peragaan, peragaan, atau situasi yang sesungguhnya dapat digunakan untuk meningkatkan cara berfikir kritis dan kreatif siswa. Suatu ridlle biasanya berupa gambar di papan tulis, papan poster, atau diproyeksikan dari suatu trasparansi, kemudian guru mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan ridlle itu.
7)      Synectics Lesson
Pada dasarnya syntetics memusatkan pada keterlibatan siswa untyuk membuat berbagai macam bentuk metafora (kiasan) supaya dapat membuka intelegensinya dan mengembangkan kreativitasnya. Hal ini dapat dilaksankan karena metafora dapat membantu dalam melepaskan “ikatan struktur mental” yang melekat kuat dalam memandang suatu problema sehingga dapat menunjang timbulnya ide-ide kreatif.
2.3.3 Sintaks Model Pembelajaran Disscovery-Inquiry
Pembelajaran yang dilakukan dengan discovery-inquiry adalah pembelajaran dimana metode-metode tersebut dilakukan tidak lepas dan tetap berpijak pada langkah-langkah discovery-inquiry. Secara garis besar prosedur pelaksanaan pembelajaran discovery menurut Syaiful Bahri dan Aswan Zain (2002:22) adalah sebagai berikut :
1.      Stimulation : guru mulai bertanya dengan mengajukan persoalan atau menyuruh anak didik membaca ataupun mendengarkan uraian yang membuat persoalan.
2.      Problem statement : memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi berbagai persoalan.
3.      Data collection : perngumpulan berbagai informasi yang relevan, membaca literatur, mengamati obyek, wawancara dengan nara sumber atau melakukan uju coba sendiri dan lain-lain oleh siswa.
4.      Data prossesing: pengolahan, pengacakan, pengklasifikasian, pentabulasian bahkan penghitungan data pada tingkat kepercayaan tertentu.
5.      Verification atau pembuktian : pembuktian dari hipotesis atau pernyataan yang telah dirumuskan berdasarkan hasil pengolahan informasi yang telah ada.
6.      Generalization : berdasarkan hasil verifikasi, siswa menarik kesimpulan atau genaralisasi tertentu
2.3.4 Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Disscovery-Inquiry
Setiap model pembelajaran yang digunakan memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Pada pembelajaran discovery-inquiry siswa dirancang untuk menemukan sendiri konsep ilmu yang akan dipelajari sehingga diharapkan dari penemuan sendiri suatu konsep oleh siswa selain lebih mudah dimengerti dan diingat, juga dapat menumbuhkan motivasi intrinsik siswa karena siswa merasa puas atas hasil dari penemuan mereka. Pembelajaran ini membutuhkan waktu yang cukup banyak, karena dalam prosesnya siswa dihadapkan pada permasalahan-permasalahan yang harus dipecahkan dengan cara mengumpulkan data dan informasi dari berbagai sumber serta melakukan uji coba sendiri. Apabila selama proses penemuan konsep kurang terbimbing atau kurang terarah, maka akan terjadi kekacauan dan kekaburan atas konsep yang dipelajari.
Menurut Jerome Bruner dalam Moh. Amien (1979 : 12) beberapa keuntungan pembelajaran penemuan adalah: (a) Siswa akan mengerti konsep-konsep dasar dan ide-ide dengan lebih baik, (b) Membantu dalam menggunakan ingatan dan transfer pada situasi-situasi dalam proses belajar mengajar yang baru, (c) Mendorong siswa untuk berpikir dan bekerja atas inisiatifnya sendiri, (d) Mendorong siswa untuk berpikir inklusif dan merumuskan hipotesisnya sendiri, (e) Memberikan kepuasan yang bersifat intrinsik, (f) Situasi proses belajar mengajar lebih merangsang. Sedangkan menurut Roestiyah (2002 : 20-21) model pembelajaran discovery-inquiry memiliki kelebihan dan kekurangan: Kelebihan model pembelajaran discovery-inquiry yaitu: (1) Mampu mengembangkan penguasaan ketrampilan untuk berkembang dan maju dengan menggunakan potensi yang ada pada diri siswa itu sendiri, (2) Mampu memberikan motivasi belajar, memperkuat, dan menambah kepercayaan pada diri siswa dengan proses menemukan sendiri. Kekurangan model pembelajaran discovery-inquiry yaitu: (1) Siswa harus ada kesiapan, kemampuan, dan keberanian untuk mengetahui keadaan sekitarnya dengan lebih baik, (2) Bila kelas terlalu besar, maka bentuk ini akan kurang berhasil. 
Mengenai kelebihan dan kekurangan metode penemuan/discovery-inquiry diuraikan juga oleh Sudirman N, dkk (1992) sebagai berikut :
Kelebihan model pembelajaran discovery-inquiry :
  1. Strategi pengajaran menjadi berubah dari yang bersifat penyajian informasi oleh guru kepada siswa sebagai penerima informasi yang baik tetapi proses mentalnya berkadar rendah, menjadi pengajaran yang menekankan kepada proses pengolahan informasi di mana siswa yang aktif mencari dan mengolah sendiri informasi yang kadar proses mentalnya lebih tinggi atau lebih banyak.
  2. Siswa akan mengerti konsep-konsep dasar atau ide lebih baik.
  3. Membantu siswa dalam menggunakan ingatan dan dalam rangka transfer kepada siutuasi-situasi proses belajar yang baru.
  4. Mendorong siswa untuk berfikur dan bekerja atas inisiatifnya sendiri.
  5. Memungkinkan siswa belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber belajar yang tida hanya menjadikan guru sebagai satu-satunya sumber belajar.
  6. Metode ini dapat memperkaya dan memperdalam materi yang dipelajari sehingga retensinya 9tahan lama dalam ingatan) menjadi lebih baik.
Kekurangan model pembelajaran discovery-inquiry :
  1. Memerlukan perubahan kebiasaan cara belajar siswa yang menerima informasi dari guru apa adanya, ke arah membiasakan belajar mandiri dan berkelompok dengan mencari dan mengolah informasi sendiri. Mengubah kebiasaan bukanlah sesuatu yang mudah, apalagi kebiasaan yang telah bertahun-tahun dilakukan.
  2. Guru dituntut mengubah kebiasaan mengajar yang umumnya sebagai pemberi informasi menjadi fasilitator, motivator, dan pembimbing siswa dalam belajar. Inipun bukan pekerjaan yang mudah karena umumnya guru merasa belum puas kalau tidak banyak menyajikan informasi (ceramah).
  3. Metode ini memberikan kebebasan pada siswa dalam belajar, tetapi tidak berarti menjamin bahwa siswa belajar dengan tekun, penuh aktivitas, dan terarah.
  4. Cara belajar siswa dalam metode ini menuntut bimbingan guru yang lebih baik. Dalam kondisi siswa banyak (kelas besar) dan guru terbatas, agaknya metode ini sulit terlaksana dengan baik.
2.3.5 Jenis-Jenis Model Pembelajaran Disscovery-Inquiry
Menurut Moh. Amien (1979: 15) bahwa pengembangan kemampuan “discovery inquiry” pada diri siswa melalui pengajaran science dapat dilakukan dengan kegiatan-kegiatan antara lain:
1.      Discovery-Inquiry Terbimbing (Guided Discover-Inquiryy)
Salah satu pengembangan kemampuan discovery-inquiry pada diri siswa melalui pengajan science dapat dilukiskan dengan kegiatan guided discovery-inquiry laboratory lesson. Menurut Moh. Amien (1979 : 15) Istilah guided discovery-inquiry digunakan apabila didalam kegiatan discovery-inquiry guru menyediakan bimbingan/ prtunjuk yang cukup luas kepada siswa, sebagian perencanaan dibuat oleh guru. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa guided discovery-inquiry atau discovery-inquiry tebimbing adalah kegiatan pembelajaran penemuan, di mana permasalahan/problem diberikan oleh guru.
Siswa tidak merumuskan problema. Petunjuk yang cukup luas tentang bagaimana menyusun dan mencatat diberikan oleh guru. Menurut Moh. Amien (1979 : 15-16) Pada umumnya suatu guided discovery lab lesson  terdiri dari: (1) Pernyataan problema : problema untuk masing-masing kegiatan dapat dinyatakan sebagi pertanyaan atau peryataan biasa, (2) Prinsip atau konsep yang diajarkan : prinsip-prinsip dan/atau konsep-konsep yang harus ditemukan oleh siswa melalui kegiatan, harus ditulis dengan jelas dan tepat, (3) Alat/Bahan : alat/bahan harus disediakan sesuai dengan kebutuhan setiap siswa untuk melakukan kegiatan, (4) Diskusi pengarahan : berupa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada siswa (kelas) untuk didiskusikan sebelum para siswa melakukan kegiatan discovery-inquiry, (5) Kegiatan discovery-inquiry : kegiatan metoda discovery-inquiry oleh siswa berupa kegiatan percobaan/penyelidikan yang dilakukan oleh siswa untuk menemukan konsep-konsep dan/atau prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh guru, (6) Proses berpikir siswa : proses berpikir kritis dan ilmiah menunjukkan tentang mental operation: siswa yang diterapkan selama kegiatan berlangsung, (7)  Pertanyaan yang bersifat open-ended : pertanyaan yang bersifat open-ended :  harus berupa pertanyaan yang mengarah ke pengembangan tambahan kegiatan penyelidikan yang dapat dilakukan oleh siswa, (8) Catatan guru : catatan guru berupa catatan-catatan lain yang meliputi : penjelasan tentang hal-hal atau bagian-bagian yang sulit dari kegiatan/pelajaran, isi/materi pelajaran yang relevan dengan kegiatan, faktor-faktor variable yang dapat mempengaruhi hasi.
2.      Discovery-Inquiry Bebas (Free Discuvery-Inquiry)
Discover-inquiryy bebas merupakan suatu kegiatan pembelajaran yang memberi kebebasan siswa untuk menentukan masalah sendiri, mencari konsep, dan merancang eksperimen sampai mencari kesimpulan. Di sini guru hanya sebagai teman belajar apabila diperlukan sebagai tempat bertanya. Biasanya discovery bebas tidak berjalan, siswa masih memerlukan bimbingan
3.      Discovery-Inquiry Bebas Termodifikasi (Modified Free Discovery-Inquiry)
Model pembelajaran discovery-inquiry bebas termodifikasi merupakan suatu kegiatan discovery-inquiry bebas tetapi dalam penemuan masalahnya diberikan oleh guru. Pada pembelajaran ini guru memberikan masalah tersebut melalui pengamatan, eksplorasi atau prosedur penelitian untuk memperoleh jawaban dan siswa harus di dorong untuk memecahkan masalah dalam kerja kelompok atau perorangan.
4.      Inquiry Role Approach (I.R.A)
Menurut Moh. Amien (1979: 21) inquiry role approach (I.R.A) merupakan kegiatan proses belajar-mengajar yang melibatkan siswa dalam team-team yang masing-masing terdiri dari 4 anggota untuk memecahkan invitation into inquiry. Masing-masing anggota team diberi tugas suatu perananan yang berbeda-beda sebagai berikut: (1) team coordinator, (2) technical advisor, (3) data recorder, (4) proses evaluator. Anggota team menggambarkan peranan-peranan di atas, bekerja sama untuk memecahkan problem-problem yang berkaitan dengan topik yang disetudi. Misalnya: populasi burung, tingkah laku tikus, anak abnormal, dan sebagainya. Menurut Moh. Amien (1979: 23) Pembelajaran dengan menggunakan pictorial riddle adalah salah satu teknik/metoda untuk mengembangkan motivasi dan interest siswa di dalam diskusi kelompok kecil maupun besar. Gambar peraga atau situasi yang sesunggunya dapat digunakan untuk meningkatkan cara berpikir kritis dan kreatip siswa. Suatu riddle biasanya berupa gambar di papann tulis dan sebagainya, kemudian guru mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan riddle.

2.4 Model Pembelajaran Discovery-Inquiry dalam Pembelajaran IPA
Sudah diketahui bersama bahwa, IPA adalah ilmu mengkaji fenomena alam yang ada di sekitar kita. Kajian IPA mencakup tiga aspek, yaitu IPA sebagai produk, proses dan sikap ilmiah. Bagaimana tumbuhan berkembang biak? Ada apa di dalam atom? Bagaimana susunan tata surya? Bagaimana cara ikan paus berenang? Bagaimana terjadinya fosil? Bagaimana tanaman di dasar laut berfotosintesis? Pertanyaan-pertanyaan tersebut baru sekelumit pertanyaan yang telah terjawab oleh ilmuwan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan contoh dari tiga pertanyaan dasar dalam IPA, yaitu: What is there, How does it work? How did it come to be this way? Untuk menjawab bagaimana tumbuhan dapat melakukan perkembangbiakan? Ada apa di dalam atom? Manusia tidak mungkin masuk ke dalam atom, kalau begitu bagaimana caranya manusia tahu bahwa di dalam atom ada elektron dan inti atom? Bagaimana manusia tahu ada 8 planet dalam tata surya? Bagaimana manusia tahu tentang umur fosil? Bagaimana manusia tahu karakter ikan paus? Dan bagaimana tumbuhan yang di dasar laut dapat memperoleh sinar matahari?
Konsep-konsep, prinsip-prinsip, hukum-hukum dan teori-teori dalam IPA merupakan produk dari serangkaian aktivitas manusia yang dikenal dengan penyelidikan ilmiah (Scientific Inquiry). “The scientific process as observation, measurement, experimentation, and the other operation included in the scientific method” (Sund & Trowbridge, 1973). Orang yang berkecimpung di dalam IPA akan mendapatkan sikap ilmiah seperti jujur, cermat, berpikir kritis, rasa ingin tahu, menghormati pendapat orang lain, dan sebagainya.
Proses untuk menghasilkan pengetahuan sangat bergantung pada pengamatan teliti terhadap suatu fenomena, dan teori yang mendasari pengamatan, yang pada gilirannya akan memberi peluang munculnya teori baru yang dapat menggugurkan teori lama atau diperoleh teori yang lebih memperkuat teori yang sudah ada, dengan perkataan lain “hukum-hukum dan teori dalam IPA bukan suatu kebenaran mutlak dan sempurna”. Teori yang menyatakan matahari sebagai pusat tata surya (Heliosentris) berhasil menggugurkan teori lama yang menyatakan bumi sebagai pusat tata surya (Geosentris), sebaliknya teori relativitas yang dikemukakan oleh Einstein tidak mengesampingkan hukum gerak Newton.
Hakikat IPA adalah IPA sebagai produk, dan IPA sebagai proses. Secara definisi, IPA sebagai produk adalah hasil temuan-temuan para ahli saintis, berupa fakta, konsep, prinsip dan teori-teori. Fakta dalam IPA adalah pernyataan-pernyataan tentang benda-benda yang benar-benar ada, atau peristiwa yang betul-betul terjadi dan dikonfirmasi secara objektif. Contohnya atom hidrogen mempunyai satu elektron, merkurius adalah planet terdekat dengan matahari. Sedangkan konsep IPA adalah suatu ide yang mempersatukan fakta-fakta. Contohnya semua zat tersusun atas partikel-partikel, materi akan berubah tingkat wujudnya bila menyerap atau melepaskan energi. Prinsip IPA adalah generalisasi tentang hubungan antara konsep-konsep IPA. Contohnya udara yang dipanaskan memuai, adalah prinsip menghubungkan konsep udara, panas, pemuaian. Artinya udara akan memuai jika udara tersebut dipanaskan. Teori IPA adalah kerangka yang lebih luas dari fakta-fakta, konsep-konsep, dan prinsip-prinsip yang saling berhubungan. Contohnya teori meteorologi membantu para ilmuwan untuk memahami mengapa dan bagaimana kabut dan awan terbentuk.
Sedangkan IPA sebagai proses adalah strategi atau cara yang dilakukan para ahli saintis dalam menemukan berbagai hal tersebut sebagai implikasi adanya temuan-temuan tentang kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa alam. Maka dari itu, IPA sebagai produk tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya IPA sebagai proses. Dari sini dapat diketahui kajian IPA sangat luas, dan IPA mempunyai andil dalam memberikan sumbangan pada kemajuan peradaban manusia, khususnya perkembangan teknologi suatu bangsa. Banyak orang yang beranggapan bahwa IPA itu sulit dan membosankan. Selama ini IPA dianggap pelajaran yang sulit dan menakutkan. Para siswa menganggap bahwa IPA hanya untuk orang pintar. Untuk mengubah paradigma tersebut, maka perlu upaya melakukan pembelajaran IPA yang sederhana, mudah dicerna, menarik bagi siswa dan menyenangkan.
Model pembelajaran discovery-inquiry cocok dipakai dalam pembelajaran IPA, dimana dalam pengembangan pembelajaran IPA hendaknya disertakan dengan pelakukan penelitian yang lebih mendalam agar dapat menemukan sebuah konstruksi pengetahuan yang dapat dipahami oleh siswa. model pembelajaran discovery-inquiry sangat efektif dipakai untuk pembelajaran IPA dapat dibuktikan dengan hasil penelitian Dyah dan Ratih (2015) bahwa pembelajaran inquiry dapat meningkatkan hasil belajar sebesar 71,5% dan pemahaman konsep siswa terhadap pelajaran IPA (reaksi redoks) sebesar 54%. Dalam penelitian tersebut guru bertindak sebagai fasilitator yang menerapkan seluruh sintaks pembelajaran inquiry. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Rumithi (2016) dengan hasil bahwa kelas yang menggunakan model pembelajaran inquiry dengan nilai rata-rata prestasi belajar IPA sebesar 68,150, sedangkan kelas dengan model pembelajaran konvensional dengan nilai rata-rata prestasi belajar IPA sebesar 63,800. Kedua penelitian tersebut membuktikan bahwa penerapan model pembelajaran inquiry sangat efektif sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.
Penggunaan model pembelajaran discovery juga sangat efektif dalam pembelajaran IPA, hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Abdelrahman (2014) dengan hasil bahwa discovery berhasil meningkatkan pengetahuan siswa sebesar 3,35%. Hal ini dapat menjadi acuan untuk merubah metode pengajaran di kelas dengan model pembelajaran discovery. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Basman, Arifin dan Muris (2016) dengan hasil bahwa model pembelajaran discovery-inquiry dapat meningkatkan prestasi belajar melebihi 70% dan juga mengurangi terjadinya miskonsepsi dalam pembelajaran IPA. Untuk itu model pembelajaran discovery-inquiry cocok dipakai dalam pembelajaran IPA.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran discovery-inquiry dalam pembelajaran IPA adalah sebagai beriku:
1.      Model pembelajaran discovery merupakan sebuah model pembelajaran yang dapat mengarahkan siswa untuk menemukan sendiri serta mengembangkan pengetahuan IPA yang diperolehnya.
2.      Model pembelajaran inquiry adalah sebuah model pembelajaran yang berorientasi pada penelitian dan pengamatan terhadap pelajaran IPA.
3.      Model pembelajaran discovery-inquiry adalah sebuah model pembelajaran yang merupakan perpaduan antara penelitian atau pengamatan untuk menemukan sebuah konsep baru dalam pembelajaran IPA.
4.      Dari hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa model pembelajaran discovery dan inquiry sangat cocok dipakai dalam pembelajaran IPA dengan hasil yang ditunjukkan oleh terjadinya peningkatan pada prestasi belajar siswa.

3.2 Saran-Saran
Beberapa saran yang dapat dikemukakan terkait dengan isi makalah model pembelajaran discovery-inquiry dalam pembelajaran IPA adalah:
1.      Setiap guru harus dapat memahami model pembelajaran discovery-inquiry dalam pembelajaran IPA agar dapat memposisikan dirinya dengan benar sesuai dengan hakekat pendidikan.
2.      Departemen Pendidikan agar merekrut lulusan teknologi pendidikan yang memahami model pembelajaran discovery-inquiry, agar dapat mengarahkan pendidikan dan menyusun sistem pendidikan sesuai dengan hakekatnya.
3.      Bagi para akademisi diharapkan memahami model pembelajaran discovery-inquiry sebagai sebuah pondasi dalam pengajaran.


DAFTAR PUSTAKA
Abdelrahman, K. 2014. The effect of using discovery learning strategy in teaching grammatical rules to first year general secondary student on developing their achievement and metacognitive skills. International Journal of Scientific Research. 5(2):146-153. http://www.ijisr.issr-journals.org. Diakses 10 Desember 2016.
Balim, A. G. 2009. The effect of discovery learning on students success and inquiry learning skills. Eurasian Journal of Educational Research. 35:1-20. http://www.ejer.com. Diakses 10 Desember 2016.
Basman, T., Arifin, A. & Muris, M. 2016. The development of discovery-inquiry learning model to reduce the science misconception of junior high school students. International Journal of Enviromental & Science Education. 11 (12):5676-5686. http://www.journalijar.com. Diakses 30 September 2016.
Budianingsih, A. 2005. Belajar dan pembelajaran. Jakarta. Rineka Cipta.
Dahlia, M., P., & Sondang, R., M. 2016, Pengaruh Model Pembelajaran Inquiry Training dan Motivasi Terhadap Hasil Belajar Fisika Siswa. Jurnal Pendidikan Fisika. 5(1):1-6. http://jurnal.unimed.ac.id. Diakses 18 Desember 2016.
Dalyono. 1996. Psikologi pendidikan. Jakarta. Rineka Cipta.
Degeng, N. S. 1989. Ilmu pembelajaran : taksonomi variabel. Jakarta. Dirjen Dikti.
Dyah, A. F. & Ratih, Y. 2015. Upaya Reduksi miskonsepsi siswa pada konsep reaksi redoks melalui model guided inquiry di SMA Negeri 1 Sumenep. Jurnal Lentera Sains Universitas Wiraraja. 5(2):37-46. http://www.ejournal.wiraraja.ac.id. Diakses 10 Desember 2016.
Gormally, C. 2009. Effect of inquiry-based learning of students science literacy skills and confidance. International Journal of The Scholarship of Teaching and Learning. 3(2):1-22. http://doi.org/10.20429/ijsotl. Diakses 10 Desember 2016.
Emetembun.  1986. Artikel, Dinas pendidikan dan Kebudayaan. Terdapat pada: http://ainamulyana.blogspot.co.id/2016/06/model-pembelajaran-discovery-learning. html. Diakses 17 desember 2016.
Illahi, M. T. 2012. Pembelajaran discovery strategy & mental vocational skill. Jogjakarta. Diva Press.
Kumara, A. 2004. Model pembelajaran active learning mata pelajaran sains tingkat SD Kota Yogyakarta sebagai upaya peningkatan life skills. Jurnal Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. 2:63-91. http://www.jurnal.ugm.ac.id. Diakses 11 Juni 2017.
Malik, F. 2001. Pedoman penyelenggaraan kecakapan hidup (life skills). Jakarta. Theme.
Munandar, A. T., Rita, P., & Khotimah, R. P. 2015. Penerapan pendekatan scientific dengan model discovery learning untuk meningkatkan pemahaman konsep dan partisipasi belajar siswa (PTK pada siswa kelas VII SMP Negeri 2 Masaran semester genap tahun pelajaran 2014/2015. Jurnal Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhamadiah Surakarta. 1-11. Diakses melalui http://www.ums.ac.id. 18 Nopember 2016.
Mulyasa. 2008. Menjadi guru Professional Menciptakan Pembelajaran Kreatif Dan Menyenangkan. Bandung:  Remaja Rosda Karya.
Nur, I., Yusuf, S. 2016. Kompetensi pedagogik untuk peningkatan dan penilaian kinerja guru dalam rangka implementasi kurikulum nasional. Sidoarjo. Genta Group Production
Oghenevwade, O. E. 2010. Effect of discovery and inquiry approaches in teaching and learning of biology on secondary school students performance in Delta State Nigeria. Journal of Research in Education and Society. 1(1):30-39. http://www.nigeria-education.org. Diakses 11 Juni 2017.
Rumithi, M. 2016. Pengaruh model pembelajaran inkuiri terbimbing dan motivasi berprestasi terhadap prestasi belajar biologi siswa kelas X SMA Negeri 1 Rendang. Tesis. Program Studi Teknologi Pembelajaran Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha.
Rusman. 2016. Model model pembelajaran mengembangkan profesionalisme guru. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.
Santyasa, W. 2017. Pembelajaran inovatif. Singaraja. Undiksha Press.
Simarmata, U. 2008. Penerapan model konstruktivis dalam pembelajaran fisika di SMU dalam upaya menanggulangi miskonsepsi siswa. Jurnal Universitas Negeri Medan. http://www.jurnal.usu.ac.id. Diakses 18 Desember 2016.
Suastra, I. W. 2009. Pembelajaran sains terkini mendekatkan siswa dengan lingkungan alamiah dan sosial budayanya. Singaraja. Universitas Pendidikan Ganesha.
Suherman. 2001. Keunggulan metode discovery. Artikel, Blog Edukasi. Terdapat pada : http://herdy07.wordpress.com/2010/05/27/metode-pembelajaran- discovery-penemuan. Diakses 17 Desember 2016.
Sukmadinata, S. 2001. Metode penelitian pendidikan. Bandung. Remaja Rosdakarya.
Sund, R. B., & Trowbridge, L. 1973. Teaching science by inquiry in the schondary school. Ohio. Charles E Merril Publishing Co.
Syaiful, B., & Aswan, Z. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta. Rineka Cipta.
Takdir. 2012. Pembelajaran discovery strategy dan mental vocational skill. Jogjakarta. Diva Press.
Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta : Prestasi Pustaka.
Trisna, D. 2015. Komparasi model pembelajaran inquiri terbimbing dalam group investigation (GI) untuk meningkatkan motivasi belajar dan prestasi belajar Biologi siswa kelas X di SMA Negeri 1 Susut Bangli. Tesis. Singaraja:Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha.
Wartono. 2004. Terintegrasi IPA (buku 4). Materi Pelatihan. Proyek PSPP Depdiknas. Jakarta
Wagiran. 2007. Meningkatkan keaktifan mahasiswa dan reduksi miskonsepsi melalui pendekatan problem based learning. Jurnal Kependidikan I(37). 1-22. Universitas Negeri Yogyakarta.




Rangkuman jurnal: Pengaruh model pembelajaran inquiry training dan motivasi terhadap hasil belajar fisika siswa

Dahlia, M. P., Sondang, R. M. 2016. Pengaruh model pembelajaran inquiry training dan motivasi terhadap hasil belajar fisika siswa...